Jumat 30 Jul 2021 12:34 WIB

Tapering Off The Fed Berpotensi Ganggu Keberlanjutan Bisnis

Kebijakan The Fed ini bisa mempengaruhi keberlanjutan bisnis farmasi di Indonesia.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Gedung kantor The Federal Reserve
Foto: AP Photo/Manuel Balce Ceneta
Gedung kantor The Federal Reserve

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), untuk mengurangi likuiditas atau tapering off pada awal 2022 diperkirakan akan berdampak bagi perekonomian Indonesia. Beberapa industri juga disebut akan terimbas kebijakan The Fed itu. 

"Jika tapering off terjadi sesuai proyeksi BI maka efek ke stabilitas nilai tukar rupiah akan mengalami tekanan hebat," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira kepada Republika.co.id, Jumat (30/7). 

Bhima memperkirakan, rupiah akan melemah hingga level 16.000-17.000 per dolar AS jika tapering off mulai dilakukan awal 2022. Volatilitas kurs akan membuat impor naik signifikan dan memukul industri manufaktur yang menggunakan bahan baku impor. 

Salah satu yang terdampak yaitu industri farmasi yang sekitar 90 persen bahan bakunya merupakan impor. Menurut Bhima, kebijakan The Fed tersebut bisa mempengaruhi keberlanjutan bisnis farmasi. Sehingga harga jual produk di level konsumen pun akan meningkat. 

"Ancaman inflasi ini perlu segera diantisipasi karena daya beli pada 2022 diperkirakan belum kembali ke level pra pandemi," ujar Bhima.

Disisi lain, lanjut Bhima, minat dana asing untuk masuk ke instrumen di negara berkembang seperti Indonesia juga akan menurun. Hal tersebut lantaran ekonomi Indonesia sedang terganggu akibat pandemi sehingga  akan pemulihan akan lebih lambat dibanding negara lainnya. 

Bhima menyampaikan, pemerintah perlu mengambil beberapa langkah untuk memitigasi berbagai risiko yang muncul akibat kebijakan The Fed ini. Pemerintah harus memperkuat devisa dengan mengoptimalkan Devisa Hasil Ekspor yang dikonversi ke rupiah. 

"Dalam keadaan darurat, BI bisa memberlakukan capital control seperti Thailand dimana DHE minimum disimpan di bank dalam negeri selama 6-9 bulan," terang Bhima. 

Selain itu, ancaman keluarnya dana asing harus diantisipasi dengan melakukan pengendalian terhadap risiko utang pemerintah dan swasta. Pemerintah harus mendorong swasta melakukan hedging untuk melindungi dari kerugian selisih kurs. 

"Bagi pemerintah sebaiknya kelola utang dengan lebih hati hati khususnya utang luar negeri," tegas Bhima.

Menurut Bhima, pemerintah juga harus mendorong investasi yang berkualitas dan bukan sekadar portfolio. Dengan demikian, struktur investasi bisa lebih panjang dan tidak mudah terguncang faktor eksternal. 

Terakhir, pemerintah harus mendorong permintaan dan pertumbuhan kredit usaha sebelum tapering off terjadi untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Sebab, ketika tapering off terjadi bank sentral akan cenderung menaikkan suku bunga yang berakibat pada mahalnya biaya pinjaman.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement