Selasa 18 Nov 2025 12:03 WIB

PN Jaksel Tegaskan Sengketa Berita Wajib Selesai di Dewan Pers

Substansi kerugian petani akibat narasi 'beras busuk' belum diuji di proses hukum.

Petani meratakan padi yang dijemur pada areal persawahan Desa Lebo jaya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Rabu (29/10/2025). Perum Bulog Kantor Wilayah Sulawesi Tenggara telah menyerap sekitar 15 ribu ton gabah kering panen (GKP) hingga Oktober 2025 serta meminta para mitra membeli gabah petani sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) agar kesejahteraan petani semakin meningkat sekaligus menjaga stabilitas pasokan dan harga beras di Sulawesi Tenggara menjelang akhir tahun 2025.
Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah
Petani meratakan padi yang dijemur pada areal persawahan Desa Lebo jaya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Rabu (29/10/2025). Perum Bulog Kantor Wilayah Sulawesi Tenggara telah menyerap sekitar 15 ribu ton gabah kering panen (GKP) hingga Oktober 2025 serta meminta para mitra membeli gabah petani sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) agar kesejahteraan petani semakin meningkat sekaligus menjaga stabilitas pasokan dan harga beras di Sulawesi Tenggara menjelang akhir tahun 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – LBH Pers mengapresiasi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang menolak gugatan perdata Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo dengan nomor putusan 684/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL.

Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah Sulistyo Muhamad Dwi Putro, SH, MH sebagai ketua majelis, dengan hakim anggota I Ketut Darpawan, SH dan Sri Rejeki Marsinta, SH, M.Hum.

Kementerian Pertanian (Kementan) mengadukan poster dan motion graphic “Poles-poles Beras Busuk” ke Dewan Pers.  Konten itu, bagian dari publikasi berita tentang aktivitas Perum Bulog dalam penyerapan gabah/beras di lapangan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri Serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah.

Putusan pengadilan 17 November 2025 menegaskan sengketa terkait karya jurnalistik termasuk juga dengan pelaksanaan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) merupakan ranah Dewan Pers, bukan ranah pengadilan umum, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 15 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

LBH Pers juga mengapresiasi majelis hakim yang mempertimbangkan pendapat ahli, Yosep Adi Prasetyo. Mantan ketua Dewan Pers itu menerangkan, jika Kementan menganggap Tempo tak menjalankan PPR Dewan Pers, pengadu bisa melaporkan kembali ke Dewan Pers.

Dewan Pers lalu mengeluarkan pernyataan terbuka yang menilai apakah teradu sudah melaksanakan PPR sebagaimana yang dimaksudkan Dewan Pers atau belum.

Melalui putusannya, majelis hakim menimbang sampai dengan gugatan didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Dewan Pers belum membuat pernyataan secara terbuka terkait tuduhan Kementan bahwa Tempo tidak melaksanakan PPR Nomor 3/PPR-DP/VI/2025.

Majelis Hakim menyatakan Dewan Pers harus mengeluarkan Surat Pernyataan Terbuka Khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat 4 Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers.

Dengan demikian majelis hakim berpendapat melalui pertimbangannya bahwa argumen yang disampaikan Tempo, yaitu Eksepsi Prosedual Terkait Kompetensi Kewenangan Mengadili Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tidak Berwenang Mengadili Gugatan Perbuatan Melawan Hukum beralasan hukum dan karena itu dikabulkan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini. “Menimbang bahwa oleh karena eksepsi Tergugat dikabulkan, maka kepada Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara,” tulis majelis hakim melalui putusannya.

Direktur LBH Pers Mustafa Layong menyatakan, putusan Pengadilan Jakarta Selatan seperti air pelepas dahaga di tengah paceklik demokrasi. Kemenangan ini milik pers, warga, serta semua yang menghendaki kebebasan berpikir, berpendapat dan mengakses informasi.

‘’Putusan ini jadi pengingat agar kita rakyat tidak menyerah berjuang kala pemerintah kadang bisa melakukan apa saja, bahkan untuk hal yang kita anggap tidak masuk akal.” ujar Mustafa dalam keterangan yang dirilis LBH Pers, Senin (17/11/2025).

Kuasa hukum Kementerian Pertanian (Kementan), Chandra Muliawan, SH, MH, menyampaikan kekecewaan atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 684/Pdt.G/2025/PN Jkt.Sel tertanggal 17 November 2025 yang menyatakan pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili gugatan yang diajukan Kementan.

“Kami datang ke pengadilan membawa amanah menjaga 160 juta petani dan rakyat kecil yang berasnya bahkan telah diakui langsung Bapak Presiden sebagai beras berkualitas dan dibanggakan di forum PBB. Namun hari ini, PN Jakarta Selatan justru menutup pintu dengan menyatakan tidak berwenang. Lalu kemana lagi kami harus mencari keadilan?” kata Chandra.

Menurut dia, putusan itu tidak mempertimbangkan kerusakan reputasi petani bangsa yang sedang dihantam narasi dan infografis 'beras busuk' yang disebarkan secara masif. Dampaknya, petani kecil di pelosok negeri menjadi korban stigmatisasi kualitas gabah dan berasnya buruk.

“Kalau institusi negara yang diberi mandat konstitusional menjaga pangan nasional saja diperhadapkan pada tembok prosedur seperti ini, bagaimana nasib petani kecil yang tidak punya akses dan suara?” kata Chandra.

Pengamat pangan Debi Syahputra menilai Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuka dua fakta besar. Pertama, tuduhan bahwa Mentan Andi Amran Sulaiman sedang melakukan pembungkaman pers tidak terbukti sama sekali.

Kedua, substansi kerugian petani akibat narasi 'beras busuk' justru tidak tersentuh dan belum diuji di proses hukum mana pun.“Kalau eksepsi Tempo dikabulkan, berarti tidak ada tekanan dari kekuasaan,” kata Debi.

Menurut Debi, keputusan pengadilan untuk mengabulkan eksepsi Tempo menunjukkan, narasi soal intervensi kekuasaan terhadap media tidak berdasar.

“Fakta paling sederhana adalah ini Tempo meminta pengadilan menyatakan tidak berwenang dan pengadilan mengabulkannya. Kalau betul ada tekanan kekuasaan atau pembungkaman pers, mustahil eksepsi mereka diterima begitu saja. Jadi isu pembungkaman itu hanya opini, bukan fakta,” kata Debi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement