REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG – UNESCO bersama Pemerintah Indonesia berkomitmen merawat dan mempertahankan kelestarian sistem pengairan pertanian Bali atau yang biasa disebut dengan Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Demikian kata Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu.
"Salah satu upayanya, termasuk melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait dengan air demi mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke-21, semuanya sangat terkait erat dalam konteks Subak,” kata Xing Qu saat menyampaikan sambutan dalam diskusi bertajuk “Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management” pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10, di BICC, Nusa Dua, Bali, Rabu (22/5/2024).
Sistem irigasi Subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini karena dijaga secara turun temurun. Pada 29 Juni 2012 UNESCO pun menetapkan bahwa Subak sebagai warisan budaya dunia, dan hingga saat ini tetap konsisten berkomitmen mempertahankannya.
Subak yang dikelola masyarakat adat Bali melalui mekanisme irigasi berlandaskan filosofi Tri Hita Karana (keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan) dinilai mampu menjadi contoh harmonisasi hubungan antara air dengan manusia.
Xing Qu memaparkan sejumlah inisiatif dan program yang dilakukan UNESCO dalam meningkatkan promosi dan edukasi terkait dengan bagaimana memanfaatkan air secara bijak. Sejumlah inisiatif itu diantaranya dukungan pendidikan terkait dengan pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan memfasilitasi kerja sama air lintas batas. Upaya ini selaras dengan semangat yang digaungkan dalam World Water Forum ke-10 di Bali.
“Kita harus merefleksikan kembali bagaimana hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini kita telah mengkonsumsi dan mengolah air. Kami juga akan merilis inisiatif-inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan,” ungkap Xing Qu.
Xing Qu pun menyampaikan kekagumannya terkait dengan kehidupan masyarakat Bali yang selalu berhubungan erat dengan air. Sejak lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali itu selalu melekat dengan air.
Sebab itu, jika masyarakat tidak lagi bisa mengakses air dan terjadi krisis, maka kondisi ini akan menjadi ancaman. Menurut dia, jika hal itu terjadi, dampak krisis air tidak hanya akan dialami oleh masyarakat di Bali saja sebagai pusat destinasi wisata dunia, melainkan juga berpotensi dialami masyarakat global.