REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG — Indonesia masuk jajaran 13 besar negara manufaktur dunia pada 2024 dengan nilai tambah industri pengolahan sebesar 265 miliar dolar AS. Pemerintah menyebut capaian ini menandai posisi manufaktur nasional kian diperhitungkan di level global.
“Posisi Indonesia berada pada posisi ke-13 top manufacturing countries by value added di dunia pada tahun 2024 yang mencatat angka 265 miliar dolar AS,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam Kompas100 CEO Forum di ICE BSD, Tangerang, Banten, Rabu (26/11/2025).
Agus menegaskan data tersebut dirilis Bank Dunia sehingga bisa menjadi rujukan objektif membaca posisi Indonesia di peta manufaktur global. Ia menyebut nilai tambah manufaktur RI kini hampir setara dengan negara mapan seperti Prancis, Inggris, Rusia, dan Brasil.
Kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal III 2025 tercatat 17,39 persen (harga berlaku) dan 18,70 persen (harga konstan). Pertumbuhan sektor ini mencapai 5,58 persen, di atas laju ekonomi nasional yang berada di kisaran 5 persen.
Ekspor industri pengolahan nonmigas pada Januari–September 2025 mencapai 167,85 miliar dolar AS atau sekitar 80 persen dari total ekspor nasional. Angka itu menunjukkan manufaktur masih menjadi tulang punggung kinerja perdagangan luar negeri Indonesia.
Namun, Agus mengingatkan, tingkat utilisasi manufaktur yang baru 61,4 persen menandakan kapasitas industri belum terpakai optimal. Menurutnya, pengendalian impor yang lebih berkeadilan bisa langsung mengerek serapan produksi domestik.
Ia juga menilai penguatan pasar dalam negeri penting karena sebagian besar output manufaktur diserap domestik. Pemerintah diminta tak hanya mengejar peringkat global, tetapi memastikan industri kuat di pasar sendiri agar efeknya terasa ke pekerja dan pelaku usaha lokal.
Kementerian Perindustrian menyiapkan Strategi Baru Industri Nasional (SBIN) yang bertumpu pada hilirisasi berbasis sumber daya serta penguatan ekosistem industri. Instrumen seperti standar nasional Indonesia (SNI), tingkat komponen dalam negeri (TKDN), dan industri hijau disiapkan untuk menjaga daya saing sekaligus keberlanjutan manufaktur.
Agus menilai reformasi TKDN menjadi kunci memperbesar “kue” industri tanpa mengorbankan sektor lain. Penyederhanaan aturan TKDN diarahkan lebih mudah, murah, dan berbasis insentif supaya investasi manufaktur masuk lebih cepat.
Capaian 13 besar dunia menjadi peluang sekaligus ujian karena publik menunggu dampaknya pada lapangan kerja dan harga barang yang lebih terjangkau. Pemerintah perlu memastikan lonjakan nilai tambah industri menetes ke daerah, bukan berhenti di angka statistik nasional.