Sabtu 11 Jan 2020 00:50 WIB

Ini Penyimpangan Jiwasraya dalam Pendahuluan Investigasi BPK

Jiwasraya berinvestasi pada saham perusahaan yang berkualitas rendah.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Friska Yolanda
Asuransi Jiwasraya.
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Asuransi Jiwasraya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi gagal bayar yang dialami PT Asuransi Jiwasraya, diyakini karena sarat praktik korupsi dan penyimpangan hukum. Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin meyakini, ada pengabain prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan investasi perusahaan asuransi milik BUMN tersebut. Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidus) Adi Toegarisman, pun menebalkan, adanya uang negara yang ditaksir hilang dalam investasi liar oleh para petinggi Jiwasraya.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Rabu (8/1), mengungkapkan kerugian Jiwasraya pada 2018, sebesar Rp 15,3 triliun. Medio September 2019, perusahaan asuransi milik negara itu merugi sebesar Rp 13,7 triliun. Pada posisi November 2019, Ketua BPK Agung Firman Sampurna, mengatakan hasil pendahuluan audit investigatif auditor negara, mengungkap kerugian Jiwasraya, mencapai Rp 27,2 triliun. 

Baca Juga

BPK, pun mengungkapkan sejumlah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pengelolaan Jiwasraya. Berikut penjelasan Ketua BPK Agung Firman Sampurna, dalam hasil pendahuluan investigasi Jiwasraya, yang sarat koruptif dan aksi korporasi yang cacat hukum. Penjelasan ini, resmi BPK sampaikan ke publik, pada Rabu (8/1), bersama dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanudin.

1. Sebagaimana diketahui, permasalahan Jiwasraya sebenarnya permasalah yang sudah terjadi sejak lama. Meskipun, sejak 2006 perusahaan masih membukukan laba, akan tetapi laba tersebut adalah laba semu, sebagai akibat dari rekayasa akutansi, atau window dressing. Perusahaan sebenarnya telah mengalami kerugian.

Pada 2017, PT Asuransi Jiwasraya mebukukan laba Rp 360,3 miliar. Namun memperoleh opini tidak wajar, akibat adanya kecurangan pencadangan kekurangan sebesar Rp 7,7 triliun. Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, seharusnya perusahaan menderita rugi.

2. Pada 2018, Jiwasraya membukukan kerugian unaudited, sebesar Rp 15,3 triliun.  Dan sampai September 2019 diperkirakan rugi Rp 13,7 triliun. 

3. Pada November 2019, Jiwasraya diperkirakan mengalami negative equity sebesar Rp 27,2 triliun. Kerugian itu terutama terjadi karena Jiwasraya menjual produk JS saving plan, dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito, dan obligasi yang dilakukan secara masif sejak 2015. 

Dana dari JS saving plan tersebut, diinvestasikan dalam instrumen saham dan reksa dana yang berkualitas rendah. Sehingga mengakibatkan adanya negatif spread. Pada akhirnya, hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya, yang berujung pada gagal bayar.

4. Produk JS saving plan, merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di Jiwasraya sejak 2015. Produk ini sebenarnya merupakan produk simpanan dengan jaminan return atau bunga yang sangat tinggi, dengan tambahan manfaat asuransi. 

5. PT Asuransi Jiwasraya melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah.

6. Pemeriksaa BPK sedang menganalisis prediksi. Hal ini belum final.

7. Jual beli saham tersebut diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi. Selain itu juga dilakukan dengan mereka yang seharga. Sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya.

8. Saham-saham yang diperjualbelikan, tersebut adalah saham-saham yang berkualitas rendah. Dan pada akhirnya mengalami penurun nilai dan tidak likuid. Saham-saham tersebut antara lain adalah: BJBR, SMBR, dan PTPRO. Indikasi kerugian negara akibat transaksi tersebut diperkirakan Rp 4 triliun.

9. Pihak-pihak yang terkait adalah pihak-pihak PT Asuransi Jiwasraya, pada tingkat direksi dan general manajer, serta pihak lain di luar Jiwasraya.

10. Pada posisi per 30 Juni 2018, PT Asuransi Jiwasraya memiliki sekitar 28 produk reksa dana. Dan di antaranya sebanyak 20 produk reksa dana kepemilikan Jiwasraya di atas 90 persen. Reksa dana tersebut sebagaian besar reksa dana dengan underlying saham berkualitas rendah, dan tidak likuid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement