REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menjelaskan pandangannya bahwa Kementerian ESDM dan SKK Migas sebagai regulator harus hadir dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dalam setiap proses penyusunan kebijakan sektor energi.
Ia juga mendorong Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk membentuk forum "energy dialogue and debate" yang rutin digelar, baik di hadapan Presiden maupun di ruang publik. Forum ini, menurutnya, akan melahirkan sebuah "energy policy networks" yang berisi gagasan-gagasan kuat, visioner, dan berbasis data.
“Jejaring kebijakan itulah yang nantinya akan terus memproduksi arah kebijakan dan strategi migas nasional. Selama ini kebijakan dihasilkan dari proses yang tidak transparan sehingga kelompok mafia bisa bergerak bebas,” tegasnya dalam sebuah wawancara pada Rabu (26/11/2025).
Jehansyah menyebut, langkah aparat hukum menindak tegas mafia migas sudah benar. Namun, tindakan hukum saja tidak cukup apabila pemerintah tetap mempertahankan pola business as usual (bisnis seperti biasa) dalam penyusunan kebijakan energi.
“Semua korupsi mafia migas terjadi karena regulator malas membangun sistem yang andal dan akuntabel. Kebijakan energi itu tidak bisa hanya berdasarkan pidato satu-dua menteri, tapi harus melalui desain debat kebijakan yang matang,” ungkapnya.
Ia menegaskan, sektor migas sebenarnya bukan bidang yang rumit secara teknis. Banyak putra-putri bangsa sudah menguasai teknologi dan rekayasa perminyakan modern. “Ini bukan rocket science seperti persaingan microchip antara Nvidia dan Huawei. Teknis enjinering migas sudah dikuasai anak bangsa. Yang lemah adalah proses policy making-nya [pembuatan kebijakan],” katanya.
Jehansyah menegaskan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) migas juga harus ditempatkan langsung di bawah kendali Presiden untuk mengakhiri dominasi mafia migas yang selama ini mengacaukan tata kelola energi nasional.
Menurutnya, selama proses pembuatan kebijakan migas dilakukan di "ruang-ruang gelap" dan dipengaruhi kelompok-kelompok berkepentingan, maka mafia migas akan tetap eksis dan terus merugikan negara.
“Semua yang direncanakan, ditargetkan, apa tahap-tahap yang dilaksanakan dan bagaimana strategi yang diambil harus terjadi di ruang kerja Presiden. Pertamina tidak bisa bekerja sendirian,” ujar Jehansyah.
“Negara harus kuat membangun sistem, memilih sosok-sosok yang brilian dan berintegritas, serta tegas menindak kasus hukum. Hanya dengan itu mafia migas bisa benar-benar dihentikan,” tutupnya.