REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memastikan stabilitas sistem keuangan Indonesia saat ini sangat baik. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Maktoprudensial BI Juda Agung mengatakan daya tahan keuangan Indonesia masih terbilang tinggi.
Juda mengatakan stabilitas keuangan tersebut masih terjaga meski kondisi perekonomian pada akhir 2018 sedikit melemah. "Tahun lalu akhir 2018 ketika rupiah menyentuh hampir Rp 15 ribu, tekanan memang banyak," kata Juda dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (26/6).
Belum lagi dengan adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina juga menurutnya membuat ketidakpastian global. Memasuki masa tersebut, Juda mengakui biasanya semua investor ingin bermain aman.
"Investasi dia (investor) di emerging market, ditarik semua. Yang pada akhirnya memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah," tutur Juda.
Belum lagi, lanjut Juda, isu geopolitik di Timur Tengah juga memberikan tekanan besar. Hanya saja, dia menegaskan Di tengah tekanan tersebut stabilitas sistem keuangan Indonesia tetap sehat dan BI selalu memantaunya.
"Kita lihat secara keseluruhan itu baik. Kita masih dalam kondisi sehat dan baik," tutur Juda.
Dia menegaskan makroprudensial dari kebijakan saat ini ingin mendorong kredit lebih tinggi lagi. Dengan begitu, Juda mengatakan hal tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk selanjutnya.
Juda menjelaskan kondisi stabilitas keuangan yang masih terjaga juga dapat dilihat dari hal lainnya. "Kita lihat rasionya. Likuiditas 20 persen terhadap dana pihak ketiga (DPK), jadi masih kuat. Pertumbuhan kredit juga sekarang sekitar 11 persen," ungkap Juda.
Dengan begitu, dia menilai ukuran lain menunjukkan sistem keuangan Indonesia masih sehat. Juda mengatakan pelonggaran loan to value (LTV) yang merupakan bagian dari kebijakan makroprudensial juga untuk mendorong pertumbuhan kredit.
"Dalam tiga sampai empat tahun ke depan (pertumbuhan kredit) masih bisa didorong untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia," jelas Juda.