REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menanggapi makin maraknya pemberitaan soal pemutusan hubungan kerja (PHK) serta melemahnya daya beli masyarakat terkait kondisi perbankan. Menurut OJK, tidak ada perubahan signifikan pada ekspektasi pertumbuhan kredit tahun ini.
“Berdasarkan pembahasan rencana bisnis antara pengawas dengan perbankan, secara umum tidak terdapat penyesuaian yang signifikan pada target pertumbuhan kredit di 2025. Perbankan masih memiliki kesempatan untuk merevisi target rencana bisnis hingga akhir September I-2025 dengan mempertimbangkan dinamika kondisi ekonomi baik global maupun domestik,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, dalam keterangannya, dikutip Jumat (13/6/2025).
Dian menyebut, OJK terus berkoordinasi dengan industri perbankan, khususnya jika terdapat faktor-faktor yang mengakibatkan perlunya dilakukan penyesuaian proyeksi pertumbuhan kredit perbankan lebih lanjut.
Ia menyampaikan, optimisme proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai masih terjaga. Antara lain didukung oleh percepatan belanja pemerintah dan stimulus pemerintah yang diharapkan dapat menarik minat investasi ke domestik serta meningkatkan permintaan kredit.
Pemerintah diperkirakan akan terus melanjutkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan memfokuskan kembali, merelokasi, dan membuka blokir anggaran agar belanja kementerian/lembaga (K/L) dapat lebih tajam sesuai dengan prioritas pemerintah.
Diketahui, pada Senin (2/6/2025), pemerintah telah mengumumkan lima paket stimulus ekonomi yang mencakup diskon biaya transportasi, keringanan tarif jalan tol, dan perluasan program bantuan sosial. Stimulus tersebut bertujuan menjaga daya beli masyarakat serta mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi domestik.
“Diharapkan, kebijakan ini dapat memperkuat kepercayaan pelaku usaha, mendorong minat investasi di dalam negeri, serta meningkatkan permintaan terhadap kredit/pembiayaan dan mendukung kinerja perbankan secara keseluruhan hingga akhir tahun,” jelas Dian.
Manajemen Risiko Perbankan
Di tengah kekhawatiran atas makin maraknya PHK dan menurunnya daya beli masyarakat, muncul pula kekhawatiran mengenai semakin meningkatnya jumlah bank yang tutup di Indonesia.
Namun, Dian menyebut, pihaknya secara konsisten mendorong industri perbankan untuk senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking), tata kelola dan manajemen risiko yang baik, serta menjaga integritas guna mendorong industri perbankan yang resilien, sehat, dan berkelanjutan.
Upaya pengembangan dan penguatan perbankan tersebut dilakukan agar mampu menjawab tantangan dan dinamika industri jasa keuangan yang semakin kompleks dan beragam, sehingga diperlukan kemampuan deteksi dini terhadap permasalahan dan forward-looking.
Dian menuturkan, OJK telah memiliki pengaturan mengenai exit policy yang menitikberatkan pada deteksi sejak awal terhadap permasalahan dan kondisi BPR/S yang membahayakan kelangsungan usahanya, serta langkah penyehatan sebagai upaya perbaikan tingkat solvabilitas dan/atau likuiditas.
“Proyeksi BPR/S yang akan mengalami CIU (cabut izin usaha) pada tahun 2025 bersifat dinamis dan dipengaruhi oleh upaya penyehatan yang dilakukan oleh pengurus dan/atau PSP BPR/S,” ujarnya.
OJK dipastikan terus melakukan tindak lanjut pengawasan dan menjaga stabilitas sistem keuangan sesuai dengan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (UU P2SK).