REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penerapan tarif ekspor produk Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 19 persen dbarengi tarif nol persen impor dari AS dinilai membawa konsekuensi berat bagi sektor pertanian dalam negeri. Kebijakan yang dilancarkan Presiden AS Donald Trump tersebut dinilai berpotensi memperdalam ketergantungan pangan dan memukul petani lokal.
"Kalau kita lihat lebih jauh, menurut saya berat, sekalipun tarif kita ke sana 19 persen, tapi mereka minta 0 persen. Ini situasi yang sebenarnya sangat tidak balance dan nggak fair gitu ya. Karena dalam jangka panjang itu memukul keras sektor pertanian kita kan," Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah, saat dihubungi Republika.
Ia menyoroti bahwa penurunan tarif ini disertai syarat pembelian produk-produk AS termasuk sejumlah komoditas pertanian strategis seperti gandum, jagung, dan kedelai. Menurutnya harga produk impor yang lebih murah mendorong konsumen untuk lebih memilih barang-barang berukuran besar yang sebagian besar merupakan produk transgenik.
Seiring waktu, ia mengatakan hal ini membentuk preferensi konsumsi yang mengarah pada ketergantungan terhadap produk impor. Akibatnya, kapasitas produksi pangan lokal yang sempat berkembang di era 1980-an terus mengalami penyusutan.

Dengan adanya kemungkinan kebijakan tarif impor 0 persen, tren ini diperkirakan akan semakin menguat. Gandum menjadi salah satu contoh nyata. Jika pada dekade 1980-an konsumsi gandum hanya sekitar satu kilogram per orang per tahun, saat ini angkanya melonjak menjadi 27 kilogram per kapita per tahun.
Dalam jangka panjang, seiring perubahan pola konsumsi masyarakat terlihat sangat signifikan. Jika dulu konsumsi pangan pokok masyarakat masih beragam—seperti umbi-umbian, jagung, sorgum, dan beras—kini tinggal dua komoditas yang mendominasi: beras dan gandum.
Kecenderungan itu, menurutnya bukan tidak mungkin ke depan sumber utama karbohidrat dan kalori masyarakat Indonesia bukan lagi beras, melainkan gandum. Persoalannya, Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali di dalam negeri.
"Ada peluang suatu saat pangan pokok sumber karbohidrat dan kalori kita yang utama di-replace oleh gandum. Problemnya adalah gandum tidak 1 kilogram pun kita produksi dalam negeri," katanya.
"Artinya kebijakan ini akan membuka ruang lebih lebar dan membentuk satu pola pangan yang makin lapang terhadap gandum. Dan dalam jangka panjang, karena tidak produksi, maka ketergantungan kita akan lebih besar. Itu resiko menurut saya sebagai negara akan sangat besar dipertaruhkan karena tergantung ke negara lain," katanya menambahkan.