REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Angka pertumbuhan kredit perbankan terus menunjukkan tren pelemahan. Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit perbankan pada Juni 2025 hanya mencapai 7,77 persen, menurun dibandingkan Mei 2025 yang tumbuh 8,43 persen.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan pihaknya telah berupaya maksimal untuk mendorong pertumbuhan kredit melalui berbagai kebijakan, khususnya dengan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate. “BI sudah all out untuk mendorong pembiayaan perbankan. Kami turunkan suku bunga, bahkan masih ada ruang untuk penurunan lebih lanjut,” ujar Perry, dikutip Kamis (17/7/2025).
Selain menurunkan suku bunga, BI juga menambah likuiditas melalui operasi moneter yang bersifat ekspansif. Bank Sentral pun terus berupaya menstabilkan nilai tukar rupiah. “Lebih dari itu, kami menambah insentif likuiditas makroprudensial yang jumlahnya sangat besar. Hingga minggu pertama Juli 2025, total insentif KLM mencapai Rp 376 triliun bagi bank-bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas,” jelasnya.
“Jadi, BI benar-benar all out untuk mendorong pertumbuhan kredit dan bersama pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi,” tegas Perry.
Lebih lanjut, Perry memaparkan analisis mengenai tren penurunan pertumbuhan kredit perbankan, khususnya terkait mengapa perbankan belum menurunkan suku bunga. Analisis ini mencakup sisi penawaran dan permintaan kredit.
“Dari sisi suplai, bukan karena masalah likuiditas, sebab alat likuid per dana pihak ketiga (DPK) sangat tinggi, yaitu 27 persen. Permasalahannya adalah preferensi bank yang lebih memilih menempatkan alat likuid pada surat-surat berharga dan terlalu berhati-hati dalam mengalokasikan dana ke kredit,” jelasnya.
Adapun dari sisi permintaan, Perry menyadari belum seluruh sektor ekonomi menunjukkan pertumbuhan tinggi. Permintaan kredit didorong oleh sektor-sektor yang berorientasi ekspor, sedangkan dari sisi domestik baru terlihat di sektor perdagangan, konsumsi, transportasi, dan jasa.
“Oleh karena itu, mengapa suku bunga kita turunkan, likuiditas kita tambahkan, dan dalam strategi operasi moneter kita juga menambah likuiditas, agar kecenderungan suku bunga, tidak hanya BI Rate tetapi juga tenor hingga 12 bulan, turun. Ini akan mendorong perbankan untuk mengalihkan dana dari surat berharga ke sektor kredit,” paparnya.
Perry juga menyebut bahwa imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) akan semakin menurun, yang diharapkan dapat mendorong perbankan lebih aktif menyalurkan kredit kepada dunia usaha.
“Kami menyadari perlunya kehati-hatian dalam menilai sektor dan korporasi yang layak mendapatkan kredit. Tapi imbauan kami, ‘yok, bersama-sama turunkan suku bunga’, ‘yok, bersama-sama genjot kredit’, agar kita bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Sebagai informasi, sepanjang 2025, BI telah memangkas suku bunga sebanyak dua kali, yakni pada Januari dan Mei 2025. Setiap pemangkasan sebesar 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen dari level awal sebesar 6 persen, sehingga BI Rate menjadi 5,5 persen. Kemudian, diturunkan kembali dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli 2025 menjadi 5,25 persen.
Langkah pemangkasan suku bunga tersebut dinilai konsisten dengan ekspektasi inflasi yang rendah dan stabil, serta sebagai upaya memperkuat nilai tukar rupiah dan menjaga pertumbuhan ekonomi nasional.