REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi perlambatan ekonomi pada tahun lalu menyebabkan bisnis lembaga keuangan mikro seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT) tertekan. Menurut Perhimpunan Baitul Mal wat Tamwil Indonesia (PBMTI), tahun ini BMT akan difokuskan untuk bertahan dengan memberikan pembinaan pada para anggotanya.
Ketua Umum Perhimpunan Baitul Mal wa Tamwil Indonesia (PBMTI) Joelarso mengatakan, penyebab tertekannya bisnis BMT di saat perekonomian yang melambat disebabkan oleh banyaknya pesaing besar yang merusak karakter pelaku mikro.
"Dulu mikro yang disebut unbankable itu mereka diberi fasilitas pembiayaan tanpa agunan. Tapi setelah lembaga keuangan tidak mikro atau bank masuk ke mikro akhirnya sendi-sendi kehidupan masyarakat itu jadi rusak," ujar Joelarso kepada Republika, Selasa (31/1).
Menurut Joelarso, yang disebut rusak yakni pelaku mikro yang menjadi lebih konsumtif sejak mendapatkan berbagai akses pembiayaan dari lembaga keuangan besar. Sehingga kemandirian mereka hilang serta dibebani banyak hutang dari berbagai lembaga keuangan.
Bahkan satu orang pelaku usaha mikro bisa mendapatkan pinjaman dari sekitar 5-6 lembaga keuangan. Hal tersebut yang memicu pola konsumtif tersebut.
"Mereka jadi tidak produktif, tergiur dengan bantuan. Sehingga kegunaan tidak untuk produktif. Itu yang menyebabkan kemampuan mengangsur menurun hari ini karena tidak produktif atau tidak tepat sasaran,"jelas Joelarso.
Persaingan dari kompetisi yang tidak sehat antara lembaga keuangan mikro dan perbankan di segmen yang sama, serta rusaknya mentalitas UMKM oleh sistem menyebabkan BMT sulit untuk tumbuh.
Untuk itu pada tahun ini, perhimpunan akan berusaha mengintensifkan program-program pembinaan anggota. Tujuannya untuk mempertahankan anggota serta menumbuhkan kegiatan usaha mereka. Namun pada tahun ini BMT tidak mungkin untuk melakukan ekspansi.
Berdasarkan data PBMTI, jumlah anggota BMT seluruh Indonesia mencapai sekitar 5400 BMT. Adapun yang bergabung di perhimpunan hanya sekitar 450 BMT. Kendati begitu, ia menilai kondisi tersebut terjadi secara nasional.
Asosiasi BMT Jawa Barat juga menerapkan hal yang sama. Tahun ini BMT akan lebih fokus pada mengembangkan dan mengoptimalkan BMT yang sudah ada.
"Jadi ubah strategi, orientasi profit menjadi benefit. Bukan hanya semata-mata profit yang materil. Jangan sampai BMT tumbuh tapi anggota tidak sejahtera," ujar Ketua Asosiasi BMT Jawa Barat, Asep Sudrajat.
Dengan program pengembangan anggota diharapkan dapat memperkuat BMT sehingga dapat bertahan dari kondisi ekonomi saat ini. Apalagi saat ini di Jawa Barat terdapat sebanyak 300 BMT dengan aset sekitar Rp 1 triliun. Namun, sebaran aset tersebut tidak merata dan hanya berada di beberapa kota dan kabupaten seperti Cirebon, Sumedang, Bandung dan Sukabumi.
Nantinya asosiasi akan menyamakan persepsi bagaimana strategi bertahan dengan tidak terlalu banyak ekspansi, tapi dengan menguatkan yang ada.
Menurunnya bisnis BMT ini dapat terlihat dari bisnis BMT Mardlotillah Sumedang yang penyaluran pinjaman per akhir tahun 2016 ini hanya sebesar Rp 10 miliar dengan rasio NPF naik menjadi sekitar 5 persen. Asep yang juga merupakan Ketua Pengurus BMT Mardlotillah Sumedang ini menuturkan, padahal di tahun sebelumnya BMT ini dapat menyalurkan pinjaman hingga Rp 12 miliar. Sementara itu dana simpanan anggota hanya sekitar Rp 8 miliar. Ini karena kondisi pasar tidak seperti masa lalu.
"Kalau kemarin misalnya dengan aset Rp 12 miliar masih bisa memupuk sisa hasil usaha sampai 80-90 juta. Sekarang dengan posisi aset Rp 19 miliar dapat memupuk sisa hasil usaha Rp 115 juta, itu dengan berjuang luar biasa," kata Asep.