Senin 24 Nov 2025 21:01 WIB

Outlook 2026, BCA Nilai Belanja Pemerintah Jadi Motor Utama Pertumbuhan

Program fiskal dinilai kian efektif pada 2026 saat tekanan global meningkat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
BCA menilai dorongan fiskal akan menjaga pemulihan tetap berlanjut saat tekanan eksternal meningkat. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
BCA menilai dorongan fiskal akan menjaga pemulihan tetap berlanjut saat tekanan eksternal meningkat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memandang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 ditopang percepatan belanja pemerintah. BCA menilai dorongan fiskal akan menjaga pemulihan tetap berlanjut saat tekanan eksternal meningkat.

“Jadi, kami harapkan sebenarnya untuk tahun depan, pertama dari sisi belanja pemerintah, itu yang pasti kami harapkan akan jauh lebih baik. Tahun 2025 ini bisa kami katakan sebagai tahun transisi,” ujar Kepala Biro Banking Research & Analytics BCA, Victor George Petrus Matindas, dalam Indonesia Economic Outlook 2026 di Universitas Indonesia, Depok, Senin (24/11/2025).

Baca Juga

Victor menilai berbagai program pemerintah yang mulai berjalan pada 2025 akan lebih cepat dan efektif pada 2026. Ia menyebut program makan bergizi gratis hingga Koperasi Desa Merah Putih berpeluang memperkuat permintaan domestik.

“Banyak program yang baru dimulai pada 2025 ini, makan bergizi gratis, Koperasi Desa Merah Putih, dan lain sebagainya. Seharusnya pada 2026 program-program ini akan semakin cepat dan lebih efektif lagi,” tuturnya.

BCA memperkirakan konsumsi dan investasi membaik seiring stimulus fiskal yang lebih agresif. Namun, sumbangan ekspor bersih diproyeksikan melemah dibanding paruh kedua 2025 karena perlambatan ekonomi China dan ketidakpastian tarif global.

“Jadi, belanja pemerintah ini tetap kami harapkan sebagai pendorong. Kemudian dari sisi stimulus, kami harapkan konsumsi membaik, dan dari sisi investasi, investasi swasta juga diharapkan membaik,” harapnya.

Untuk stabilitas rupiah, BCA mematok proyeksi kurs 2026 di kisaran Rp16.800 per dolar AS. Angka itu mengikuti depresiasi alami sekitar 4–5 persen per tahun akibat selisih inflasi dan risiko negara.

“Karena perbedaan tingkat inflasi dan juga perbedaan risiko negara, kami sendiri di laporan-laporan biasanya menempatkan di Rp16.800-an untuk tahun depan,” ujarnya.

Di sektor perbankan, BCA memperkirakan penurunan BI Rate pada 2025 mulai terasa pada bunga kredit 2026. Bank disebut harus menyeimbangkan penurunan bunga dengan kenaikan volume kredit agar margin tetap terjaga.

“Nah, di sini memang ibaratnya kami bank harus menyesuaikan antara sisi volume dengan sisi suku bunga. Kalau permintaan bagus, meskipun suku bunga turun, volume akan meningkat,” jelasnya.

Dari sektor UMKM, Victor menyebut Bank Indonesia memasukkan skema rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) ke dalam KLM disertai insentif giro wajib minimum (GWM). Insentif itu dinilai cukup menarik bagi bank untuk memperluas porsi kredit UMKM di tengah ketidakpastian ekonomi.

“Maksudnya, itu insentif. Kalau perbankan memberi pertumbuhan kredit kepada UMKM, mereka bisa mendapat insentif GWM. Nah, menurut hitungan kami secara nasional, ini seharusnya cukup menarik bagi perbankan,” kata dia.

BCA menilai kombinasi percepatan belanja pemerintah, membaiknya konsumsi, dan pulihnya investasi menjadi fondasi outlook ekonomi 2026. Tantangannya adalah menjaga daya tahan domestik saat ekspor melemah dan risiko global, termasuk tarif perdagangan, masih membayangi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement