REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai pemulihan pertumbuhan ekonomi nasional menuju angka 5 persen pada semester kedua 2025 sangat mungkin dicapai. Ini asalkan pemerintah mampu mengoptimalkan belanja negara, menggerakkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta membangun kembali kepercayaan pelaku usaha.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi Kadin Indonesia, Aviliani, dalam sebuah diskusi yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, pada Selasa (29/7/2025) lalu.
“Jadi kalau kita lihat di semester II ini, kita berharap harusnya bisa ditingkatkan pertumbuhan ekonomi, bisa menjadi 5 persen kembali. Memang dengan syarat. Pertama, kita harapkan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) ini mulai bisa belanja lagi,” kata Avi, dikutip Rabu (30/7/2025).
Ia menyoroti bahwa pada triwulan II, pertumbuhan ekonomi tercatat negatif akibat terhambatnya belanja pemerintah. Padahal, menurutnya, meski kontribusinya hanya sekitar 8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), pengeluaran negara tetap menjadi penggerak utama aktivitas ekonomi nasional.
“Dan biasanya pertumbuhan ekonomi itu penggeraknya adalah dari mereka (belanja pemerintah),” ujarnya.
Avi menekankan pentingnya peran BUMN dalam memicu pergerakan sektor swasta. Ia menyebut saat ini BUMN, khususnya di sektor konstruksi, cenderung lamban bergerak karena terkendala pelaksanaan proyek-proyek APBN. “Nah itu dua hal yang paling penting untuk penggerakan pertumbuhan ekonominya,” tutur dia.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya membangun persepsi positif di kalangan pelaku usaha di tengah ketidakpastian global yang terus berlanjut. Avi berpendapat fokus kebijakan saat ini harus diarahkan pada sisi permintaan (demand side), bukan hanya pasokan (supply side). Dengan peningkatan daya beli masyarakat melalui pengeluaran pemerintah, sektor UMKM dan pariwisata akan ikut tumbuh dan membuka lapangan kerja.
“Kalau tidak tepat sasaran, akhirnya tidak akan berdampak pada multiplier effect. Jadi harus melihat demand side. Sekarang policy harus bicara demand side, tidak hanya supply side,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Mugiarso, menegaskan tekanan ekonomi global saat ini sangat nyata dan berpengaruh langsung terhadap perekonomian nasional. Menurutnya, ketegangan geopolitik di berbagai kawasan dunia berdampak besar terhadap rantai pasok, biaya logistik, serta harga komoditas.
“Dampaknya ke ekonomi luar biasa, terutama urusan supply chain, urusan logistic cost, dan urusan banyak hal yang terkait dengan bagaimana komponen harga barang menjadi lebih mahal,” ujar Susiwijono.
Ia mengingatkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global mengalami revisi turun dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen. Sementara proyeksi volume perdagangan global menyusut drastis dari 3,4 persen menjadi hanya 1,7 persen.