Jumat 11 Apr 2025 18:32 WIB

Rupiah Mendekati 17.000 per Dolar AS, OJK Waspadai Ketatnya Likuiditas Valas

Risiko nilai tukar terhadap perbankan tetap rendah.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Karyawan menghitung uang dollar di money changer.
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan menghitung uang dollar di money changer.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencermati pengetatan likuiditas valuta asing (valas) perbankan seiring pelemahan nilai tukar rupiah yang mendekati Rp 17.000 per dolar AS. Rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) valas tercatat meningkat dari 74,98 persen menjadi 81,43 persen per Februari 2025.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, pertumbuhan kredit valas tercatat lebih tinggi dibanding pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) valas. Kredit valas tumbuh 16,30 persen secara tahunan (year on year/yoy), sedangkan DPK valas tumbuh 7,09 persen yoy.

Baca Juga

Meski demikian, Dian menegaskan bahwa risiko nilai tukar terhadap perbankan tetap rendah, tercermin dari posisi devisa neto (PDN) hanya 1,55 persen, jauh di bawah ambang batas 20 persen.

"Ini dapat dimaknai bahwa sebenarnya eksposur langsung bank terhadap risiko nilai tukar itu relatif kecil ya. Sehingga pelemahan nilai tukar tidak akan banyak berpengaruh secara langsung terhadap neraca bank," ujar Dian dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner (RDK), Jumat (11/4/2025).

Ia menjelaskan, kredit valas pada umumnya diberikan kepada debitur dengan kegiatan berbasis ekspor dan memiliki penerimaan dalam bentuk valas, atau disebut sebagai naturally hedged.

"Umumnya diberikan pada para debitur yang melakukan kegiatan berbasis ekspor yang juga memiliki basis penerimaan dalam bentuk valas ini, atau yang disebut sebagai 'naturally hedged' alias lindung nilai alami," jelasnya.

Dengan struktur neraca seperti itu, OJK melihat pelemahan nilai tukar tidak menimbulkan volatilitas yang berarti terhadap kredit valas. Dian juga memaparkan bahwa bank di Indonesia memiliki eksposur valas lebih besar pada sisi aset dibanding kewajiban. Hal ini justru berdampak positif saat rupiah terdepresiasi.

"Sehingga berdampak pada peningkatan profitabilitas bank," kata Dian.

Dalam kondisi likuiditas yang mengetat, OJK juga menekankan pentingnya pengawasan individual dan komunikasi aktif dengan masing-masing bank. "Saya kira kita membuatkan pendekatan bahwa kita lebih banyak melakukan pengawasan yang lebih intens secara individual ke bank. Nah ini jadi kalau ada terjadi perubahan kondisi global maupun domestik kita selalu tentu saja melakukan konsultasi, kita juga selalu memberikan arahan kepada bank," tambah Dian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement