Jumat 11 Apr 2025 17:03 WIB

OJK Petakan Langkah Mitigasi Dampak Tarif AS ke Sektor Jasa Keuangan

Tarif AS menjadi sorotan banyak negara.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar.
Foto: OJK
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pemetaan langkah-langkah yang diperlukan untuk memitigasi risiko dan dampak tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap sektor jasa keuangan di Indonesia.

Hal itu diutarakan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RKDB) Maret 2025 di Jakarta, Jumat.

Baca Juga

Hal ini dilakukan OJK bersama pemerintah di bawah koordinasi Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, menindaklanjuti arahan Presiden RI Prabowo Subianto. Langkah mitigasi ini tetap dilakukan meskipun AS mengumumkan penundaan penerapan tarif selama 90 hari bagi negara tertentu termasuk Indonesia.

“Mitigasi risiko langsung, katakanlah jika tarif yang semula (32 persen) akan dikenakan itu terjadi, apa yang harus dilakukan. Tentu kalau dalam konteks OJK adalah juga melihat bagaimana proses serta persyaratan dan perjanjian mengenai pembiayaan yang ada selama ini untuk tetap bisa mendukung,” kata Mahendra Siregar.

OJK juga mencatat komitmen dari pemerintah untuk memperbaiki ekosistem dari industri yang terpengaruh oleh penerapan tarif AS, seperti terkait dengan insentif fiskal, kebijakan perlindungan pasar dalam negeri, atau kebijakan yang mendukung perbaikan dalam iklim investasi sehingga tidak lagi terus berhadapan dengan kondisi biaya tinggi.

“Jadi hal-hal perbaikan atau bisa dikatakan reformasi yang lebih menyeluruh yang diperlukan terhadap peningkatan daya tahan dari industri-industri yang terdampak itu,” kata Mahendra.

Apabila langkah-langkah tersebut dilakukan, Mahendra meyakini bahwa risiko tarif resiprokal AS justru dapat memberikan momentum yang baik bagi Indonesia untuk melakukan reformasi kepada keseluruhan iklim dan kondisi investasi dalam negeri sehingga meningkatkan daya saing.

Selain itu, dapat memperkuat tingkat competitiveness Indonesia bukan hanya di Amerika Serikat tapi di seluruh dunia.

“Dan pada akhirnya itu yang kami berharap menjadi hasil akhir dari apa yang kita lakukan untuk merespon (tarif AS) serta secara proaktif melakukan langkah-langkah mitigasi, dan kemudian akhirnya justru bisa memperkuat dengan strategi perkuatan di masing-masing industri dan tentunya secara keseluruhan di sektor riil perekonomian Indonesia,” jelas Mahendra.

Terkait dengan kondisi pasar modal yang terpengaruh sentimen global, Mahendra mengatakan bahwa OJK juga telah mengambil beberapa langkah kebijakan seperti buyback saham tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) serta penyesuaian trading halt dan batasan persentase auto rejection bawah (ARB).

“Juga yang kami ingin dorong ke depan adalah penguatan dari investasi domestik di pasar modal kita, khususnya oleh investor institusional, termasuk di dalamnya adalah dari lembaga jasa keuangan milik pemerintah atau BUMN,” imbuh dia.

OJK berkoordinasi dengan BPI Danantara untuk mendorong kemungkinan lebih besar lagi bagi lembaga jasa keuangan milik pemerintah untuk melakukan investasi di pasar modal sebagai investor institusional.

Pembicaraan-pembicaraan terkait hal ini, ujar Mahendra, sudah dilakukan.

“Jadi intinya berbagai hal yang akan dan telah dilakukan ini, akan membuahkan hasil-hasil yang lebih konkret dan membuahkan kemungkinan untuk penguatan sektor riil yang lebih tangguh dan juga pendalaman sektor keuangan yang kita inginkan,” kata Mahendra.

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Indonesia mempersiapkan sejumlah paket negosiasi yang akan dibawa ke perundingan untuk menghadapi kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal AS di Washington D.C.

Pada 2 April lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif ke banyak negara.

Indonesia berada pada urutan kedelapan di daftar negara-negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen.

Pada Rabu (10/4), Trump mengumumkan penundaan kebijakan tarif impor hingga 90 hari ke berbagai mitra dagang, kecuali untuk China sebesar 125 persen.

Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, yang mana untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.

Namun memasuki Kamis (11/4), Trump merevisi tarif impor ke China menjadi 145 persen, yang merupakan batas bawah atau masih berpotensi meningkat ke depan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement