REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3,4 triliun khusus dana bagi hasil perkebunan sawit. Adapun penerima dana bagi hasil perkebunan sawit sebanyak 350 daerah pada tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan alokasi dana bagi hasil perkebunan sawit bersumber dari pungutan ekspor dan bea keluar sawit. Besarnya dana bagi hasil perkebunan sawit minimal empat persen dan dapat disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
“Berdasarkan apa yang dimiliki saat ini, jumlah daerah sebanyak 350 daerah. Ini terdiri daerah penghasil, daerah perbatasan dengan daerah penghasil, daerah penghasil ada di dalamnya termasuk empat daerah otonomi baru di Papua,” ujarnya saat rapat kerja bersama dengan Komisi XI DPR, Selasa (11/4/2023).
Adapun formula pembagiannya yakni provinsi sebesar 20 persen, kabupaten/kota penghasil sebesar 60 persen dan kota/kabupaten berbatasan 20 persen. Dengan formula tersebut, pemerintah telah menetapkan minimal dana bagi hasil yang diterima setiap wilayah sebesar Rp 1 miliar.
"Beberapa bulan pajak ekspor dan bea keluar ini nol penerimaannya, maka jumlahnya menjadi terlalu kecil. Karena daerah nanti bakal dapat yang paling kecil, minimal dapat Rp 1 miliar," ucapnya.
Dasar perhitungan alokasi dana bagi hasil perkebunan sawit per daerah dibagi dua, yakni alokasi formula dan alokasi kinerja. Alokasi formula berdasarkan luas lahan dan tingkat produktivitas lahan, sedangkan alokasi berbasis kinerja perubahan tingkat kemiskinan dan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan.
“Dengan proses konsultasi dan penyelesaian rencana kerja pemerintah, tahun anggaran 2023 (penyaluran DBH) sedikit mundur mulai Juni, tapi tahun-tahun selanjutnya selesai tidak perlu dibuat rencana kerja pemerintah dan bulan Mei. Tahap kedua mulai Oktober,” katanya.
Penyaluran dana bagi hasil perkebunan sawit dilakukan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan serta kegiatan strategis lainnya yang akan diatur dalam peraturan menteri keuangan.