REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendesak pemerintah untuk menghentikan tekanan kebijakan yang berpotensi merugikan petani. Organisasi dengan jutaan anggota ini menilai, pelibatan petani menjadi kunci utama agar program biodiesel nasional benar-benar berpihak pada rakyat dan tidak hanya menguntungkan industri besar.
Seruan ini mengemuka setelah Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VII DPR RI dengan Direktorat Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Selasa (11/11/2025). Dalam rapat tersebut, sejumlah anggota dewan menyoroti pentingnya memastikan kebijakan energi terbarukan, seperti biodiesel, tidak menekan kehidupan petani sawit sebagai penghasil bahan baku utama.
Legislator Fraksi PDI Perjuangan, Cornelis, menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan energi baru dan terbarukan tidak hanya bergantung pada dukungan industri besar, tetapi juga pada keterlibatan langsung masyarakat. Ia mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mendorong program biodiesel yang bersumber dari minyak sawit.
“Membuat bahan bakar dari sawit itu sebenarnya merugikan petani,” ujar Cornelis dalam rapat.
Ia mencontohkan pengalaman di sejumlah negara yang menolak bahan pangan dijadikan bahan bakar. “Ketika sawit masuk kategori bahan bakar, harga ditekan oleh pemilik modal. Akibatnya petani yang menanggung beban, bahkan sampai mengurangi pupuk,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, SPKS dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR) mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang arah kebijakan energi terbarukan agar tidak memperburuk kesejahteraan puluhan juta petani sawit di Indonesia.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin, sependapat dengan pandangan Cornelis. Ia menilai kenaikan bauran biodiesel dari B40 ke B50 berpotensi menekan harga tandan buah segar (TBS) dan mengurangi pendapatan petani.
“Kebijakan biodiesel jangan hanya menguntungkan industri besar. Pemerintah harus memastikan kebijakan energi terbarukan ini benar-benar berpihak pada rakyat,” ujar Sabarudin di Jakarta, Kamis (13/11).
Menurutnya, dampak kebijakan yang disusun tanpa kajian ekonomi mendalam bisa langsung dirasakan jutaan keluarga petani sawit. Ia juga menyoroti kurangnya keterlibatan petani dalam proses pengambilan keputusan strategis.
“Selama ini kebijakan lebih banyak dibahas di tingkat industri dan pemerintah, sementara suara petani jarang didengar. Padahal keterlibatan petani adalah syarat utama agar biodiesel benar-benar berkelanjutan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum ASPEKPIR, Setiyono, menyampaikan bahwa para petani kini resah dengan meningkatnya pungutan pajak dan wacana Penerbitan Kawasan Hutan (PKH).
“Petani jangan hanya jadi penonton. Kami khawatir kesejahteraan yang sudah diperjuangkan justru tergerus, apalagi ada ketakutan lahan akan diambil alih melalui Satgas PKH,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa industri sawit rakyat semestinya mendapat dukungan penuh dari pemerintah.
“Sawit rakyat sudah menghasilkan pajak dan pendapatan negara yang sangat tinggi. Jangan sampai sawit digempur dari berbagai arah hingga kualitasnya menurun, karena yang akan senang justru negara kompetitor,” tegasnya.
Berharap Harga Tidak Turun
SPKS dan ASPEKPIR menyatakan dukungan terhadap kebijakan biodiesel 50 persen (B50) sepanjang tidak merugikan petani yang menjadi tulang punggung industri sawit nasional.
“Kami hanya berharap jika proyek biodiesel berjalan, jangan sampai harga menjadi turun dan merugikan petani kecil,” ujar Setiyono.
Kedua organisasi sawit ini juga berharap dukungan Komisi XII DPR RI dalam memperjuangkan kepentingan petani dalam setiap pembahasan kebijakan energi dan lingkungan.
“Kami salut pada anggota DPR yang masih memperhatikan nasib petani. Ini penting agar program biodiesel benar-benar berjalan dan juga mensejahterakan rakyat,” tutup Sabarudin.