Senin 15 Jan 2018 14:26 WIB

Beras Mencukupi, Jabar tak Butuh Tambahan Pasokan Impor

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Nur Aini
Pedagang beras di Pasar Soreang mengeluhkan harga beras yang mengalami kenaikan sekitar 1000 hingga 1500, Ahad (14/1). Kenaikan harga beras dipicu gagal panen di sejumlah daerah.
Foto: Republika/Fauzi Ridwan
Pedagang beras di Pasar Soreang mengeluhkan harga beras yang mengalami kenaikan sekitar 1000 hingga 1500, Ahad (14/1). Kenaikan harga beras dipicu gagal panen di sejumlah daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Provinsi Jawa Barat, tidak membutuhkan tambahan pasokan dari beras impor Thailand dan Vietnam yang diwacanakan Pemerintah Pusat. Karena, menurut Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat Hendi Jatnika, produktivitas padi di Jawa Barat masih bisa mencukupi kebutuhan rata-rata konsumsi masyarakat.

Setiap tahun, Jabar masih konsisten menghasilkan 12,5 juta ton dari sekitar 900 ribu lahan produktif. Jumlah itu, sudah termasuk catatan surplus sebanyak 3 juta ton.

"Dengan 46 juta penduduk, konsumsi berasnya katakanlah hitungan kasarnya (sebulan) 90 kg perorang, produksi kita masih aman. TIdak perlu impor," ujar Hendi kepada wartawan, Ahad petang (14/1).

Menurut Hendi, per Januari tahun ini sekitar 100 ribu hektare sawah di sejumlah wilayah memasuki musim panen. Jumlah itu akan meningkat di bulan selanjutnya. Sehingga, ia menolak kebijakan impor, karena untuk produksi terendah di Januari ini saja masih surplus dengan kebutuhan beras bulanan Jabar.

"Kalau (impor) kami menolak. Tiap hari di Jabar sudah ada yang panen. Per Januari sudah ada 100 ribu ha sawah yang panen. Ada yang 20 hektare di Tasik, Garut, Kabupaten Bandung," katanya.

Saat ditanya tentang ketersediaan lahan pertanian, menurut Hendi Jatnika, Jabar mempunyai 920 ribu Ha sawah yang tersebar di sejumlah daerah di antaranya Indramayu, Kabupaten Bandung, Tasikmalaya dan Garut sebagai lumbung padi. Walaupun memang, alih fungsi lahan produktif masih terjadi, tetapi tidak sampai mempengaruhi peroduktivitas padi.

"Alih fungsi pasti ada, untuk pembangunan, tidak bisa dipungkiri. Karena, Jabar perlu area industri, perumahan baru. Sebagian ada yang membuat dari lahan produktif," katanya.

Namun, kata dia, pengurangan lahan tersebut masih di ambang normal. Dalam tiga tahun terakhir sudah ada sekitar 1.000 hektare lahan produktif yang berubah. Namun, itu akan diakali dengan program pertanian pangan berkelanjutan, yakni strategi meningkatkan produksi agar tetap di kisara 12,5 juta ton pertahun.

"Kalau harga beras yang melonjak dalam beberapa pekan terakhir, itu ada di wilayah tata niaga. Tim dari satgas pangan harus menelusuri penyebab utamanya," katanya.

Sementara menurut Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar, Entang, impor beras yang direncanakan oleh pemerintah berbanding merupakan kebijakan tidak populer. Hal ini karena, berbanding dengan klaim bahwa produksi beras meningkat dan surplus.

Bahkan, Entang menantang pemerintah untuk berani membuka database terkait produktivitas beras dalam negeri. Klaim bahwa produksi meningkat berbanding terbalik dengan alih fungsi lahan membabi buta, serta pencetakan sawah tidak maksimal, sementara jumlah penduduk meningkat.

"Impor beras tidak harus dilakukan. Data dari BPS (badan pusat statistik), kita sudah surplus. Nah kenapa impor?," katanya.

Entang menilai, saat ini permasalahannya bukan terletak pada ketersediaan barang. Namun, kebijakan impor merupakan langkah menekan secara psikologis para spekulan yang memainkan harga.

"Adanya kebijakan impor, apakah bisa meredam harga. Kalau harga turun, saya menduga ini permainan spekulan," katanya.

Baca juga: JK Sebut Beras Impor tak akan Pengaruhi Harga Tingkat Petani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement