REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar Darwis Sitorus mendorong penanganan segera permasalahan beras oplosan agar tidak berdampak signifikan pada perekonomian masyarakat, karena ada korelasi terhadap kemiskinan. Beras oplosan, kata Darwis, bisa berdampak pada angka kemiskinan, mengingat orang perkotaan banyak mengonsumsi beras premium yang disebut beras oplosan itu.
Kemudian, dalam catatan terakhir, menunjukkan bahwa angka kemiskinan di perkotaan menunjukkan tren kenaikan.
"Kemungkinan ada korelasi atau hubungannya. Ini kalau ditangani dengan baik akan bisa memperbaiki tingkat kemiskinan juga," katanya di Bandung, Jumat (25/7/2025).
Darwis menguraikan dalam hasil survei terbaru yang dilakukan, tercatat garis kemiskinan periode Maret 2025 adalah Rp547.752 per kapita per bulan, yang terdiri atas garis kemiskinan makanan sebesar Rp391.347 dan garis kemiskinan nonmakanan Rp132.705.
Kemudian, jika diuraikan, ada sejumlah komoditas yang menyumbang garis kemiskinan dengan yang terbesar adalah beras.
Di perkotaan, pada garis kemiskinan makanan, beras menyumbang 22,03 persen, disusul rokok kretek filter 11,12 persen, telur ayam ras 5,11 persen, daging ayam ras 4,93 persen, dan kopi bubuk 3,57 persen.
Sedangkan, nonmakanan komoditas tertinggi adalah perumahan dengan 9,74 persen, disusul bensin 2,44 persen, listrik 2,13 persen, pendidikan 1,79 persen dan perlengkapan mandi 1,32 persen.
Hal serupa terjadi di pedesaan yang mana beras menyumbang 26,78 persen dalam garis kemiskinan di sektor makanan.
"Saya berharap ada penanganan lebih cermat dan baik dalam isu ini sehingga tidak sampai menimbulkan gejolak di masyarakat dan perekonomian bisa terkendali," ucapnya.
Isu beras oplosan itu mencuat beberapa hari terakhir, berdasarkan dari temuan Kementerian Pertanian terkait sejumlah beras premium yang beredar di pasaran diduga dioplos ataupun memiliki kualitas tidak sesuai klaim mutunya.
Hal itu diketahui setelah dilakukan pengujian laboratorium di lima lokasi berbeda.
Kementan juga menyatakan temuan tersebut menunjukkan bahwa produk dijual di atas harga eceran tertinggi (HET) yang berpotensi merugikan konsumen.
Kementan mengatakan 10 dari 212 produsen beras nakal telah diperiksa Satgas Pangan Polri bersama Bareskrim Polri sebagai langkah membongkar praktik curang dan melindungi konsumen.