REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Maskapai terbesar Australia, Qantas Airways, dijatuhi denda 90 juta dolar Australia (sekitar Rp955 miliar) setelah terbukti secara ilegal memecat lebih dari 1.800 staf darat pada awal pandemi Covid-19.
Dilansir AP, Hakim di Melbourne, Australia pada Senin (18/7/2025) menjatuhkan denda sebesar 90 juta dolar Australia (59 juta dolar AS atau sekitar Rp955 miliar) kepada Qantas Airways karena secara ilegal memecat lebih dari 1.800 staf darat pada awal pandemi Covid-19.
Hukuman ini berada di luar kompensasi sebesar 120 juta dolar Australia (78 juta dolar AS atau sekitar Rp1,267 triliun) yang sebelumnya telah disepakati maskapai terbesar Australia itu untuk dibayarkan kepada para mantan karyawannya.
Hakim Federal Court Australia, Michael Lee, menyebut pengalihan (outsourcing) 1.820 pekerjaan petugas bagasi dan pembersih bandara pada akhir 2020 sebagai “pelanggaran terbesar dan paling signifikan” terhadap undang-undang ketenagakerjaan Australia dalam sejarah 120 tahun terakhir.
Pada Desember tahun lalu, Qantas sepakat membayar kompensasi 120 juta dolar Australia (78 juta dolar AS atau sekitar Rp1,267 triliun) kepada mantan stafnya setelah tujuh hakim High Court secara bulat menolak banding Qantas atas putusan bahwa praktik outsourcing tersebut ilegal.
Serikat Pekerja Transportasi (Transport Workers Union/TWU), pihak yang menggugat Qantas ke pengadilan, menilai maskapai seharusnya dijatuhi denda maksimal sebesar 121,2 juta dolar Australia (78,97 juta dolar AS atau sekitar Rp1,28 triliun).
Namun, Lee memutuskan bahwa denda minimum yang bisa menimbulkan efek jera adalah 90 juta dolar Australia (59 juta dolar AS / sekitar Rp955 miliar). Ia mencatat, manajemen Qantas sebelumnya memperkirakan bisa menghemat 125 juta dolar Australia (81 juta dolar AS / sekitar Rp1,32 triliun) per tahun melalui outsourcing tersebut.
Lee juga mempertanyakan ketulusan permintaan maaf Qantas, mengingat maskapai itu sempat berargumen tidak berkewajiban membayar kompensasi kepada para mantan karyawan.
“Jika masih diperlukan bukti tambahan tentang strategi hukum agresif dan tanpa henti yang dijalankan Qantas, maka upaya untuk menolak kompensasi sama sekali bagi para pekerja yang justru di depan publik mereka akui sebagai korban adalah buktinya,” ujar Lee.
“Saya percaya pimpinan Qantas saat ini memiliki sedikit penyesalan, tapi lebih karena kerusakan reputasi yang dialami perusahaan, bukan karena penderitaan yang ditanggung para pekerja,” tambahnya.
CEO Qantas, Vanessa Hudson — yang kala PHK massal terjadi menjabat sebagai CFO — menyampaikan pernyataan setelah putusan:
“Kami dengan tulus meminta maaf kepada setiap dari 1.820 karyawan layanan darat serta keluarga mereka yang terdampak. Keputusan melakukan outsourcing lima tahun lalu, di tengah ketidakpastian besar, benar-benar menyebabkan kesulitan serius bagi banyak mantan tim kami dan keluarganya. Selama 18 bulan terakhir kami bekerja keras mengubah cara kami beroperasi, sebagai upaya membangun kembali kepercayaan dari karyawan dan pelanggan. Hal ini menjadi prioritas tertinggi kami.”
Lee memutuskan bahwa 50 juta dolar Australia (33 juta dolar AS / sekitar Rp528 miliar) dari denda tersebut harus diberikan kepada serikat pekerja, mengingat tidak ada lembaga pemerintah Australia yang tertarik menyelidiki atau menuntut Qantas.
“Kalau bukan karena serikat pekerja, perilaku melanggar hukum Qantas tidak akan pernah terungkap dan mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban,” kata Lee.
Sidang lanjutan akan digelar untuk menentukan ke mana sisa denda 40 juta dolar Australia (26 juta dolar AS / sekitar Rp422 miliar) akan dialokasikan.
Sekretaris Nasional TWU, Michael Kaine, menyebut putusan ini sebagai kemenangan besar setelah pertarungan hukum selama lima tahun yang awalnya diperkirakan akan dimenangkan Qantas.
“Ini adalah hasil industri paling signifikan dalam sejarah Australia. Pesannya jelas: perlakukan pekerja secara ilegal, maka Anda akan dimintai pertanggungjawaban,” ujar Kaine.
“Melawan raksasa yang terkenal kejam, kami berhasil menang,” tambahnya.
Qantas sebelumnya juga mengakui melakukan pelanggaran hukum terhadap penumpang maupun karyawan dalam merespons krisis ekonomi akibat pandemi.
Tahun lalu, Qantas sepakat membayar kompensasi dan denda senilai 120 juta dolar Australia (78 juta dolar AS / sekitar Rp1,267 triliun) karena menjual tiket ribuan penerbangan yang sudah dibatalkan.
Komisi Persaingan dan Konsumen Australia (ACCC) menggugat Qantas ke Federal Court, menuding maskapai itu melakukan praktik menyesatkan dengan menjual tiket lebih dari 8.000 penerbangan dari Mei 2021 hingga Juli 2022 yang sebenarnya telah dibatalkan.