REPUBLIKA.CO.ID,MEDAN--Pengrajin tempe di Medan memilih mengurangi produksi dan memperkecil ukuran tempe yang dijual ke pasar sebagai solusi menghindari kerugian dari kenaikan bahan baku kedelai yang sudah naik hampir Rp2.000 per kg sejak akhir Mei.
"Tidak mungkin menghentikan produksi atau menaikkan harga jual di pasar, karena itu sama saja 'bunuh diri' mengingat pembuatan tempe pekerjaan tetap.Mau makan apa keluarga, apalagi mau Hari Raya,"kata pengrajin tempe di Jalan Bunga Asoka, Medan, Budisudarno, di Medan, Selasa.
Kalau selama ini pengolahan kedelai per hari sekitar 0,5 ton, maka mulai dikurangi bertahap agar stok kedelai yang sudah dibeli sebanyak lima ton bisa lebih bertahan lama.
Siapa tahu harga kedelai turun lagi menyusul menurunnya permintaan di pasar khususnya di Jawa yang penyerapannya cukup besar dibandingkan daerah lain, katanya.
Solusi menghindari kerugian lainnya adalah dengan memperkecil ukuran tempe yang dijual menjadi sekitar 2,5 ons per kemasan dari 3 ons per kemasan biasanya.
Dengan diperkecil, pengrajin bisa masih tetap untung meski harga jual ke pedagang masih tetap di kisaran Rp 1.600 per kemasaN atau per potong.
"Solusi itu-pun belum bisa dipastikan bertahan lama, apalagi terus terang pengrajin tempe di Sumut kurang kompak seperti di Jawa.Padahal untuk bisa eksis menghadapi situasi seperti ini dimana bahan baku naik tajam dan daya beli kurang, pengrajin harus bersatu dalam menyikapi persoallan tersebut,"katanya.
Ketidakkompakan misalnya ada sebagian pengrajin tidak mengambil langkah apapun sehingga dagangannya yang laris dibeli pedagang.
Menurut dia, meski pemerintah menyatakan bahwa harga kedelai yang mahal akibat terjadi musim kekeringan di AS yang membuat produksi menurun dan banjirnya permintaan kedelai, ada keyakinan kuat bahwa kenaikan harga merupakan ulah spekulan.
Budi yang mengaku sudah 12 tahun menjadi pengrajin tempe, memprediksi adanya spekulasi itu mengacu pada harga kedelai di Juni yang sempat naik Rp6.750 per kg dan diborong pengrajin karena takut naik lagi, tiba-tiba harganya turun menjadi Rp6.300 per kg dan itu merugikan.
Tetapi kemudian ketika pengrajin tenang, tiba-tiba harga terus naik menjadi Rp7.850 per kg pada akhir pekan lalu.
"Pemerintah diharapkan bisa melihat kondisi sebenarnya dan melakukan langkah pengamanan kepada pengrajin,"katanya.