Senin 24 Nov 2025 18:26 WIB

Akademisi dan Pengamat Soroti Tantangan Penyaluran Pupuk Subsidi

Perbaikan informasi data petani jadi kunci penyaluran subsidi pupuk tepat sasaran

Rep: Frederikus Bata/ Red: Intan Pratiwi
Pupuk Indonesia (Persero) mendukung penuh keputusan Presiden menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi
Foto: Pupuk Indonesia
Pupuk Indonesia (Persero) mendukung penuh keputusan Presiden menurunkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR -- Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor (IPB) Faroby Falatehan menilai pemerintah mengalami tantangan dalam menyalurkan pupuk bersubsidi. Menurut dia, persoalan utamanya adalah tidak akuratnya informasi dan data sebagai dasar penetapan target yang ingin dicapai.

Penilaian itu ia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Menata Data, Menjamin Asa: Mewujudkan Penyaluran Pupuk Bersubsidi yang Adil dan Tepat” di IPB Convention Center, Bogor, Senin (24/11/2025). Forum tersebut menghadirkan pengambil kebijakan, akademisi, serta pengamat pertanian untuk memperdalam persoalan pendataan pasca terbitnya Permentan 15/2025.

“Penyaluran pupuk bersubsidi terus menghadapi hambatan karena informasi dasar yang belum akurat,” ujar Faroby.

FGD digelar untuk menggali perkembangan mekanisme pendataan serta menghimpun gagasan perbaikan dari para pemangku kepentingan. Forum juga menyampaikan hasil survei lapangan mengenai data tani pupuk bersubsidi dan merumuskan rekomendasi berbasis kondisi faktual.

Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS Eko Marsoro menguraikan hasil Sensus Tani 2023. Proporsi penerima terbesar berada pada petani berlahan di bawah 1 hektare sebesar 38,39 persen dan petani berlahan 1–1,99 hektare sebesar 34,59 persen. Penerima dengan lahan di atas 2 hektare juga tercatat dan mengusahakan komoditas beragam. Biaya pupuk menempati 9,43 persen dari ongkos budidaya padi per musim.

“Subsidi tidak hanya diterima petani kecil. Petani berlahan lebih luas juga tercatat sebagai penerima,” kata Eko.

Direktur Pupuk Kementerian Pertanian Jekvy Hendra menjelaskan Data eRDKK masih menjadi acuan utama penetapan alokasi dan penerima. Kuota maksimal yang dapat ditebus petani mengikuti dosis rekomendasi dalam sistem. Permentan 15/2025 memungkinkan realokasi ketika terjadi ketidakseimbangan antara alokasi dan serapan pupuk di daerah. Ia menyebut perbaikan tata kelola kini dilakukan melalui pemantauan penebusan secara real time, penebusan sejak awal tahun, percepatan kontrak pengadaan, serta pembaruan data sepanjang tahun.

“Penebusan pupuk kini dapat dipantau real time dan pembaruan data bisa dilakukan kapan saja pada sistem terintegrasi,” ujar Jekvy.

Pengamat Pertanian AEPI Khudori menekankan persoalan besar terletak pada pendataan petani. Ia mencatat 30–40 persen petani padi, jagung, dan kedelai belum menerima pupuk bersubsidi. Komposisi penerima juga menunjukkan ketimpangan, di mana 38,5 persen penerima berasal dari kelompok pendapatan lebih rendah, sedangkan 61,5 persen dari kelompok pendapatan lebih tinggi. Temuan lain memperlihatkan 35,26 persen usaha pertanian perorangan tercatat menerima subsidi setahun terakhir.

“Masih banyak petani yang seharusnya menerima tapi tidak tercatat, sementara sebagian penerima justru dari kelompok pendapatan lebih tinggi,” ujar Khudori.

Pada sesi berikutnya, Faroby merinci tren penurunan penyerapan pupuk bersubsidi pada 2023–2025. Penyerapan tercatat 79 persen dari alokasi 7,85 juta ton pada 2023 dan 77 persen dari alokasi 9,55 juta ton pada 2025. Hingga September 2025, serapan baru mencapai 5,53 juta ton atau 58 persen. Jumlah petani yang menebus pupuk sebanyak 8,4 juta atau 56,37 persen dari 14,9 juta petani terdaftar eRDKK.

Survei MPD IPB juga menemukan ketidaksesuaian data mulai dari perbedaan antara profesi petani dalam dokumen dan pekerjaan aktual sebesar 68 persen, petani belum tergabung kelompok tani sebesar 12 persen, petani tidak masuk RDKK sebanyak 32 persen, ketidaksesuaian komoditas 7 persen, hingga ketidaksesuaian luas lahan mencapai 66 persen. Proses pendataan disebut terbatas karena 61,71 persen responden menyebut pendataan hanya dilakukan oleh ketua kelompok dan 41,81 persen menyebut pembaruan hanya dilakukan setahun sekali.

“Gejala ketidaksesuaian data seperti ini membuat penyerapan pupuk bersubsidi tidak optimal dari tahun ke tahun,” ujar Faroby.

Ia menyampaikan langkah perbaikan yang perlu ditempuh pemerintah, mulai dari reviu kebutuhan pupuk bersubsidi nasional, penyusunan aturan pendataan yang kredibel, pembentukan lembaga khusus pendataan, hingga penguatan anggaran pemutakhiran data. Penguatan pembinaan kelompok tani serta intensifikasi pemetaan lahan spasial dinilai penting untuk memastikan karakteristik lahan dan tanah tercatat secara presisi.

Perbaikan data menjadi fondasi untuk menghadirkan tata kelola pupuk bersubsidi yang inklusif. Upaya ini diharapkan memastikan petani berhak memperoleh pupuk secara adil dan tepat sasaran, sekaligus menjaga keberlanjutan program bagi sektor pertanian nasional.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement