Kamis 13 Nov 2025 20:54 WIB

Rupiah Melemah, Imbas Disahkannya RUU Setop Shutdown Pemerintah AS

Ketidakpastian global dan kebijakan The Fed ikut menekan nilai tukar rupiah.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Petugas menunjukan uang dollar AS di Money Changer, Jakarta, Rabu (17/4/2024). Berdasarkan data Bloomberg Rabu (17/4) pukul 12:00 WIB rupiah anjlok ke Ro16.236 per dolar AS melemah 60,50 poin atau 0,37 persen. Pelamahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut imbas dari ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah antara Iran dan Israel.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas menunjukan uang dollar AS di Money Changer, Jakarta, Rabu (17/4/2024). Berdasarkan data Bloomberg Rabu (17/4) pukul 12:00 WIB rupiah anjlok ke Ro16.236 per dolar AS melemah 60,50 poin atau 0,37 persen. Pelamahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tersebut imbas dari ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah antara Iran dan Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 11 poin atau 0,07 persen menuju level Rp16.728 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis (13/11/2025). Pelemahan rupiah terjadi imbas disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) penyetopan shutdown Pemerintah Amerika Serikat (AS).

“(Sentimen eksternal) Dewan Perwakilan Rakyat AS pada Rabu malam mengesahkan RUU yang bertujuan membuka pendanaan dan mengakhiri penutupan pemerintah terlama yang pernah ada, dengan Presiden Donald Trump kini siap menandatangani RUU tersebut menjadi Undang-Undang (UU),” kata pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, dalam keterangannya, Kamis (13/11/2025).

Baca Juga

RUU tersebut, yang akan menjaga pendanaan pemerintah hingga setidaknya 30 Januari, disahkan dengan suara 222 banding 209, dengan 216 anggota Partai Republik dan enam anggota Partai Demokrat mendukung.

Pengesahan RUU itu membantu menjernihkan ketidakpastian atas permintaan bahan bakar AS, mengingat penutupan tersebut menyebabkan ribuan pembatalan penerbangan di seluruh negeri. “Berakhirnya penutupan juga akan memungkinkan rilis data ekonomi resmi AS, memberikan pasar kejelasan baru tentang konsumen bahan bakar terbesar di dunia,” ujar Ibrahim.

Sentimen lainnya adalah ekspektasi kebijakan suku bunga The Federal Reserve (The Fed). Ibrahim menuturkan, para pembuat kebijakan The Fed terbagi pendapat mengenai penurunan suku bunga di tengah kekhawatiran inflasi.

Gubernur The Fed, Stephen Miran, menilai kebijakan moneter AS terlalu ketat, terutama karena ia yakin meredanya inflasi perumahan akan menurunkan tekanan harga. Sementara itu, Presiden The Fed Atlanta, Raphael Bostic, pada Rabu mengatakan ia lebih memilih mempertahankan suku bunga tetap seperti saat ini sampai ada “bukti jelas” bahwa inflasi kembali ke target 2 persen.

Dinamika geopolitik juga menjadi sentimen eksternal yang memengaruhi pergerakan rupiah. Ibrahim menyebut, di Eropa, Moskow menyadari negara-negara Barat anggota NATO sedang mempersiapkan persenjataan untuk kemungkinan konfrontasi langsung dengan Rusia.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan Moskow sepenuhnya siap menghadapi kemungkinan konflik semacam itu. Ia juga sependapat dengan Presiden Serbia, Aleksandar Vucic, yang memperingatkan bahwa militerisasi Eropa yang pesat membuat perang langsung antara Rusia dan NATO semakin tak terelakkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement