Kamis 13 Nov 2025 21:40 WIB

Ekonom: Redenominasi Rupiah Perlu Dijalankan dengan Persiapan Matang

Transaksi digital mempermudah penerapan redenominasi tanpa menimbulkan gejolak.

Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, menilai kebijakan redenominasi rupiah yang tengah disiapkan sudah seharusnya segera dijalankan. (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, menilai kebijakan redenominasi rupiah yang tengah disiapkan sudah seharusnya segera dijalankan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, menilai kebijakan redenominasi rupiah yang tengah disiapkan sudah seharusnya segera dijalankan, mengingat kondisi ekonomi dan sistem keuangan saat ini dinilai lebih siap dibandingkan satu dekade lalu.

Meski demikian, menurut dia, kebijakan tersebut perlu disertai dengan persiapan matang dari sisi pemerintah maupun Bank Indonesia (BI). “Redenominasi itu perlu dilakukan, tetapi harus konsisten. Kalau hari ini sudah mengeluarkan ide redenominasi, ya sudah kita tetapkan, kita rencanakan mulai melakukan persiapan-persiapan redenominasi. Komunikasi dengan parlemen nanti terkait undang-undangnya. Persiapkan juga administrasinya dengan otoritas moneter dan otoritas sektor keuangan seperti OJK,” kata Sunarsip dalam diskusi di Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Baca Juga

Ia menegaskan, kesiapan infrastruktur, regulasi, dan masa transisi perlu dirancang bersama agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Menurut Sunarsip, hambatan teknis dalam pelaksanaan redenominasi kini jauh berkurang berkat maraknya transaksi digital di masyarakat. Dengan semakin luasnya penggunaan uang elektronik, biaya pencetakan uang baru juga dapat ditekan.

“Jadi kekhawatiran itu sebenarnya sudah jauh berkurang dibandingkan 10 tahun lalu. Karena 10 tahun lalu nilai uang sudah makin turun. Akhirnya harga barang pun sekarang sudah tidak ada lagi yang benar-benar real angkanya,” ujarnya.

Meski begitu, Sunarsip menekankan pentingnya literasi publik untuk mencegah kesalahpahaman. Sebab, sebagian masyarakat masih kerap menyamakan redenominasi dengan sanering, padahal keduanya berbeda.

Dalam sanering, kata dia, nilai uang benar-benar berkurang misalnya uang Rp1.000 menjadi Rp1 dan daya belinya pun hilang.

Sedangkan dalam redenominasi, hanya terjadi penyederhanaan angka tanpa mengubah nilai riil. Uang Rp1.000.000, misalnya, akan menjadi Rp1.000, tetapi tetap memiliki daya beli yang sama seperti sebelumnya.

Sunarsip juga menilai kekhawatiran bahwa redenominasi akan memicu lonjakan harga emas atau inflasi berlebihan tidak beralasan. “Nggak perlu sampai seperti itu, karena investasi emas tetap akan menyesuaikan nilainya,” kata dia.

Namun, ia mengakui pada tahap awal transisi mungkin muncul tekanan inflasi sementara akibat faktor psikologis masyarakat. “Psikologis orang seperti ini, orang akhirnya belanja barang sekarang daripada nanti uang saya enggak laku. Nah, itu yang kemudian mendorong inflasi,” ujarnya.

Menurut Sunarsip, Bank Indonesia dan sistem perbankan nasional telah memiliki kapasitas teknologi yang cukup untuk menyesuaikan sistem keuangan terhadap kebijakan redenominasi.

Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah dan otoritas moneter menyiapkan regulasi serta payung hukum secara paralel sambil memperkuat kesiapan teknologi di sektor perbankan.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, pemerintah tengah menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah atau redenominasi dengan target penyelesaian pada 2027.

RUU tersebut menjadi salah satu dari empat prioritas Kementerian Keuangan dalam Rencana Strategis 2025–2029.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement