REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Di tengah ketidakpastian di pasar keuangan, sektor perbankan memegang peranan krusial dalam mendorong perekonomian Indonesia agar lebih kuat. Menurut Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Bambang Arianto, saat ini Bank Indonesia fokus pada tiga aspek untuk mendorong perbankan lebih kuat mulai dari memperkuat fungsi intermediasi, resiliensi sektor keuangan, hingga inklusi keuangan.
Menurut Bambang, untuk fungsi intermediasi perbankan, penyaluran dana dari penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) menjadi kredit, menjadi sorotan utama. Dari sisi permintaan, korporasi masih cenderung wait and see di tengah situasi global yang tidak menentu dan risiko politik yang meningkat.
"Dari sisi korporasi, dengan situasi global dan ketidakpastian yang semakin tinggi, korporasi masih cenderung wait and see. Risiko politik naik, kepercayaan diri (confidence) mereka melemah," jelas Bambang Arianto saat berbicara dalam acara Editors Briefing Bank Indonesia, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/7/2025) lalu.
Sementara itu, meskipun ekspektasi penghasilan rumah tangga masih cukup baik secara umum, kelas menengah ke bawah menghadapi kesulitan finansial. Hal ini tercermin dari perlambatan pertumbuhan DPK mereka, karena dana tabungan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, permintaan kredit menjadi terbatas, khususnya untuk kredit modal kerja dan konsumsi, meskipun kredit investasi masih cukup baik.
Dari sisi penawaran, pertumbuhan kredit perbankan cenderung melambat di semua kelompok bank, baik BUMN, BUSN, KCPA, maupun BPD. Pertumbuhan DPK juga melambat, meskipun sempat terangkat oleh belanja pemerintah. "Juli DPK naik karena ada kenaikan belanja pemerintah. Sebanyak 70–80 persen pertumbuhan DPK disumbang dari adanya spending pemerintah," ungkap Bambang.
Perlambatan DPK juga dipengaruhi oleh instrumen investasi lain seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan tabungan emas yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi, terutama bagi deposan korporasi. Kondisi ini membuat bank berjuang keras mendapatkan pendanaan dan memicu persaingan ketat dalam penetapan suku bunga.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, resiliensi sektor keuangan Indonesia masih terjaga dengan baik. Hal ini didukung oleh tingkat permodalan yang tinggi yakni rasio kecukupan modal atau CAR sebesar 26,78 persen, rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) 27 persen, dan rasio kredit bermasalah (NPL) yang rendah 2,29 persen. Kondisi ini memungkinkan perbankan untuk tetap mendorong pertumbuhan kredit hingga mencapai proyeksi Bank Indonesia sebesar 8–11 persen pada 2025.
Aspek ketiga, inklusi keuangan, ini berfokus pada penyaluran kredit kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meskipun telah melewati masa restrukturisasi, pemulihan kredit UMKM belum sepenuhnya terjadi, dengan pertumbuhan hanya 2,18 persen pada Juni 2025. Peningkatan risiko kredit UMKM ini mendorong bank untuk lebih selektif.
Namun, kata Bambang, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi penopang utama. Realisasi KUR hingga Juni 2025 mencapai Rp 131,84 triliun kepada 2,3 juta debitur. Menariknya, NPL KUR saat ini tercatat 2,38 persen, lebih rendah dibandingkan NPL kredit UMKM secara keseluruhan.
"Alhamdulillah KUR bisa berjalan baik. KUR ini jadi penopang kredit untuk UMKM," katanya.