REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 15 Tahun 2025 menandai babak baru dalam mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi. Permentan yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi memangkas sekitar 145 regulasi, dan menetapkan gabungan kelompok tani (Gapoktan), kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan), pengecer, dan koperasi sebagai titik serah penyaluran pupuk subsidi.
Kepala Pokja Pupuk Bersubsidi Kementerian Pertanian (Kementan), Sri Pujiastuti, mengatakan regulasi baru tersebut juga akan berdampak terhadap margin fee atau imbalan bagi distributor dan pengecer pupuk bersubsidi, termasuk untuk Gapoktan, Pokdakan, dan koperasi. Sejak 2010, margin imbalan tercatat hanya sebesar Rp 50 per kilogram (kg) untuk distributor dan Rp 75 per kg untuk pengecer.
“Terkait dengan margin fee ini, kami sudah ada kajiannya, tapi kami sedang me-review dulu kelayakannya, kewajarannya,” ujar Sri dalam acara forum group discussion (FGD) bertajuk "Tantangan dan Peluang Kebijakan Subsidi Pupuk pada Sektor Pertanian Pascaterbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2025" di IPB International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/6/2025).
Sri menyampaikan, tim Kementan saat ini tengah mengkaji secara komprehensif potensi kenaikan margin fee penyaluran pupuk bersubsidi. Kajian ini juga mengacu pada sejumlah komponen dalam HPP Permentan Nomor 28 Tahun 2020.
“Jadi kita harus melihat dulu kewajarannya, sambil diperhitungkan anggaran yang tersedia. Mungkin bisa jadi kisaran kenaikannya di atas Rp 50, Rp 145, atau Rp 150 per kg, itu akan kami review lagi,” ucap Sri.
Sri menambahkan, Kementan saat ini fokus menerapkan mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang baru. Berdasarkan Perpres Nomor 6 Tahun 2025, skema baru ini harus dimulai paling lambat pada 30 Juli 2025.
Untuk tahap awal, Kementan akan melakukan proyek percontohan di lima wilayah, yaitu Kabupaten Madiun (Jawa Timur), Kabupaten Lampung Tengah (Lampung), Kabupaten Sidenreng Rappang (Sulawesi Selatan), Kabupaten Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta), dan Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah). Sri menjelaskan, kriteria penerima pupuk subsidi adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani (Poktan) dan menggarap atau memiliki lahan maksimal dua hektare untuk sepuluh jenis komoditas.
“Ini bertahap sudah mulai. Walaupun sebetulnya, yang penting jangan sampai di lapangan terkendala, agar pupuk tetap tersedia untuk petani,” kata Sri.
Ketua Program Studi Magister Manajemen Pembangunan Daerah IPB University, Faroby Falatehan, menyampaikan besaran margin fee atau imbalan penyaluran pupuk bersubsidi perlu disesuaikan. Faroby menilai hal ini dapat membangkitkan semangat Gapoktan atau koperasi untuk menjadi titik serah pupuk subsidi.
“Perlu dipertimbangkan agar mereka lebih bersemangat. Kami belum mempelajari berapa besar kenaikan standar margin yang layak, mungkin antara 15–20 persen,” ujar Faroby.