Sabtu 29 Mar 2025 12:35 WIB

Rupiah Tembus Rp 16.600, Ekonom Kritik Pernyataan 'Pede' BI Soal Ekonomi RI

Rasio utang korporasi membengkak dari 28 persen (2020) ke 35 persen (2025).

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
BI  terkesan terlalu 'Percaya Diri (Pede)', di tengah pelemahan rupiah yang kian dalam hingga menyentuh level Rp 16.600 per dolar AS.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
BI terkesan terlalu 'Percaya Diri (Pede)', di tengah pelemahan rupiah yang kian dalam hingga menyentuh level Rp 16.600 per dolar AS. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritisi pernyataan Bank Indonesia (BI) yang menyebutkan fundamental ekonomi Indonesia kuat dan berbeda jauh dari kondisi krisis 1998. Menurut Achmad, BI  terkesan terlalu 'Percaya Diri (Pede)', di tengah pelemahan rupiah yang kian dalam hingga menyentuh level Rp 16.600 per dolar AS. 

Achmad mengungkit pernyataan Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M Juhro yang berargumen cadangan devisa saat ini lebih besar (lebih dari 150 miliar dolar AS) dibandingkan 1998 sekitar 20 miliar dolar AS, mekanisme mitigasi lebih terlatih, dan defisit transaksi berjalan terkendali yakni -0,32 persen PDB. 

Baca Juga

“Retorika ini mengabaikan fakta rupiah tetap menjadi mata uang terlemah di Asia Tenggara pada 2025, dengan depresiasi 12 persen yoy, lebih buruk daripada peso Filipina (-7 persen) dan ringgit Malaysia (-6 persen),” kata Achmad dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (28/3/2025) lalu. 

Adapun jika diukur berdasarkan real effective exchange rate (REER), rupiah telah terdepresiasi 35 persen sejak 2020. Sementara ringgit Malaysia alami depresiasi hanya 18 persen. 

Menurutnya, membandingkan kondisi rupiah saat ini yang pelemahannya merambat dari Rp 16.500 per dolar AS ke Rp 16.600 per dolar AS dengan tahun 1998 yang melesat dari Rp 2.800 per dolar AS menuju Rp 16.000-an per dolar AS, tidak tepat. Sebab, kata Achmad, BI lupa bahwa daya beli rupiah 2025 jauh lebih rendah.  

“Artinya, kepercayaan terhadap rupiah sebagai penyimpan nilai terus merosot—indikator yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan ‘sentimen sementara’,” ungkapnya. 

Utang korporasi

Achmad juga menyoroti mengenai utang korporasi, yang menurutnya menjadi bom waktu yang diabaikan BI. Ia menilai, meski BI mengklaim telah belajar dari krisis 1998 dengan memperkuat pengawasan perbankan, namun ada yang lalai diawasi yakni utang korporasi luar negeri. 

Menurut catatannya, per Februari 2025, utang jangka pendek korporasi Indonesia mencapai 48 miliar dolar AS (31 persen dari cadev), dengan 65 persen di antaranya tidak di-hedging. “Padahal, pada 1998, krisis diawali oleh gagal bayar utang korporasi yang tidak terlindungi,” ujarnya. 

Achmad menyebut, Bank Sentral Thailand (BOT) sejak 2023 mewajibkan perusahaan dengan utang valas di atas 10 juta dolar AS untuk melakukan hedging minimal 50 persen. Sedangkan di Indonesia, aturan serupa hanya bersifat voluntary, sehingga hanya 30 persen korporasi yang mematuhi. 

“Akibatnya, ketika rupiah melemah ke Rp 16.000 per dolar AS, perusahaan-perusahaan terpaksa membeli dolar AS secara panik—memperparah tekanan pada cadev dan kurs. BI terlalu memanjakan korporasi untuk meminjam valas,” ujarnya.

Lebih lanjut, Achmad mencatat setidaknya ada tiga paralel berbahaya yang diabaikan oleh BI. Pertama, ketergantungan pada modal asing jangka pendek. Portofolio asing di pasar saham Indonesia mencapai 42 persen pada 2025, lebih tinggi daripada 1997 seebsar 35 persen. Ketika The Fed menaikkan suku bunga Maret 2025, aliran modal keluar dari Indonesia mencapai 2,8 miliar dolar AS, terbesar di ASEAN.  

Kedua, defisit transaksi berjalan yang artifisial: defisit Indonesia (-0,32 persen PDB) terlihat kecil hanya karena impor melemah (pertumbuhan impor 2025: 1,8 persen), bukan karena ekspor menguat. Achmad menyebut itu mirip dengan 1997, yang mana defisit neraca berjalan ‘terkontrol’ karena resesi impor.  

Ketiga, overconfidence bank sentral alias terlalu pede. Eks Gubernur BI Sudrajat Djiwandono pada 1997 juga berseru bahwa ‘fundamental ekonomi kuat’.  “Kini, BI mengulangi narasi serupa sambil menutup mata pada rasio utang korporasi/PDB yang membengkak dari 28 persen (2020) ke 35 persen (2025),” ungkap Achmad. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement