Jumat 28 Mar 2025 06:30 WIB

BI Klaim Fundamental Ekonomi Indonesia Kuat, Pengamat: Mengapa Rupiah Terus Melemah?

BI menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih dalam kondisi baik.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas menghitung uang dollar AS di tempat penukaran valuta asing.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas menghitung uang dollar AS di tempat penukaran valuta asing.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia melalui Asisten Gubernur Kepala Departeman Kebijakan Makroprudensial Solikin M. Juhro menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih dalam kondisi baik dan jauh dari kondisi krisis 1998. Hal itu dilihat dari indikator makroekonomi seperti pertumbuhan PDB pada 2024 sebesar 5,02 persen, inflasi 1,57 persen, current account dengan defisit tipis 0,32 persen, serta rasio permodalan perbankan (CAR) sebesar 27,76 persen.

Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi mempertanyakan data-data tersebut dengan kondisi volatilitas rupiah yang terjadi belakangan ini hingga menyentuh angka Rp 16.600, level terendah sejak 1998.

Baca Juga

"(Data BI) menunjukkan kestabilan struktural. Namun pertanyaannya, mengapa IHSG anjlok dan rupiah terus melemah?" ujar Syafruddin dalam keterangannya, Kamis (27/3/2025).

Syafruddin lantas mengingat pernyataan Gubernur BI Sudrajat Djiwandono pada 1997 yang lalu, menjelang krisis yang menyebutkan bahwa 'fundamental ekonomi Indonesia kuat'.

"Pernyataan ini disampaikan beberapa kali menjelang krisis, terutama pada pertengahan tahun 1997, setelah krisis baht Thailand pecah pada 2 Juli 1997," terangnya.

Syafruddin melanjutkan, dalam berbagai pernyataan resmi dan wawancara media, Sudrajat Djiwandono (Gubernur BI periode 1993–1998) menegaskan bahwa Indonesia tidak akan terpengaruh krisis Thailand karena beberapa alasan. Yakni cadangan devisa Indonesia saat itu dianggap cukup, rupiah berada dalam sistem managed float dan dinilai stabil, serta Indonesia tidak memiliki ketergantungan utang jangka pendek sebesar Thailand.

"Namun kenyataannya, pada Agustus 1997, spekulan mulai menyerang rupiah. BI sempat menguras cadangan devisa untuk mempertahankan nilai tukar, sebelum akhirnya melepaskan rupiah ke pasar bebas pada 14 Agustus 1997. Nilai tukar rupiah anjlok dari kisaran Rp 2.400 per dolar AS ke Rp 16.800 per dolar AS pada puncak krisis 1998," jelasnya.

Sebelumnya diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh level Rp 16.600 per dolar AS pada perdagangan Selasa (25/3/2025), menimbulkan adanya kekhawatiran mengenai ekonomi Indonesia menuju kondisi krisis, seperti yang terjadi pada 1998. Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Solikin M. Juhro mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih resilien, dan jauh dari kondisi krisis yang terjadi pada 1998 yang silam.

"Kondisinya completely different. Ada pertanyaan apakah masih jauh? tentunya saya berani afirmasi ini (kondisi ekonomi saat ini dibanding 1998) masih jauh,” kata Solikin dalam agenda Taklimat Media di Kompleks Bank Indonesia (BI), Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2025).

Menurut Solikin, kondisi rupiah di level Rp 16.600 per dolar AS mayoritas dipengaruhi oleh sentimen yang bersifat temporer. Ia menekankan bahwa dasarnya kondisi fundamental Indonesia masih baik, diliat dari data-data seperti pertumbuhan ekonomi yang masih tumbuh di atas 5 persen dan inflasi yang masih rendah di kisaran target 2,5 plus minus 1 persen. Sedangkan diketahui inflasi pada 1998 tercatat sangat tinggi yakni 77 persen.

“Dulu (lompatan rupiah) jauh dari Rp 2.800 langsung ke Rp 16.000 semua. Kalau yang sekarang kan merambat. Kita mengalami tekanan di atas Rp 16.000, kan (pergerakannya) dari Rp 15.000 jadi depresiasinya relatively moderat,” jelasnya.

“Lalu cadangan devisa kita saat itu juga masih sekitar 20 (miliar dolar AS), sekarang cadangan devisa 150 (miliar dolar AS),” lanjutnya.

Di samping itu, Solikin juga menyampaikan pada saat ini berbagai sektor, seperti korporasi, kondisi demand relatif baik. Begitu juga sektor rumah tangga masih punya topangan. Sehingga dari sisi demand maupun supply menunjukkan kondisi fundamental yang juga relatif baik.

“Jadi, konteksnya kita tidak ada keraguan fundamental kita sangat baik, kita lebih resilien,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement