Kamis 27 Mar 2025 21:59 WIB

World Bank Ungkap Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia Terburuk di Dunia, Rupiah Terdampak

Pandemi Covid-19 disebut turut memperparah rasio pajak Indonesia.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas melayani wajib pajak yang memiliki kendala terkait Coretax di Helpdesk Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pajak Gedung Radjiman, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas melayani wajib pajak yang memiliki kendala terkait Coretax di Helpdesk Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pajak Gedung Radjiman, Jakarta, Selasa (18/2/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus bergulir di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi. Berbagai sentimen, baik eksternal maupun internal menjadi faktor volatilitas rupiah. Terbaru, pengamat melihat ada pengaruh pergerakan Mata Uang Garuda karena penilaian World Bank mengenai kinerja penerimaan pajak di Indonesia yang dinilai buruk.

Mengutip Bloomberg, rupiah menguat 25,50 poin atau 0,15 persen menuju level Rp 16.562 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis (27/3/2025). Pada perdagangan sebelumnya rupiah berada di angka Rp 16.587 per dolar AS, dan sempat menyentuh Rp 16.600 pada perdagangan Selasa (25/3/2025).

Baca Juga

“Bank Dunia melaporkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan kinerja pengumpulan pendapatan pajak terburuk di dunia. Rasio pendapatan pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) disebut termasuk yang terendah. Informasi ini sinyal bagus buat pemerintah untuk melakukan pembenahan di perpajakan secara berkala,” kata Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Kamis (27/3/2025).

Ibrahim mengatakan, dibandingkan 10 tahun sebelumnya, angka tax ratio Indonesia pada 2021 mengalami penurunan sekitar 2,1 poin persentase. Pandemi Covid-19 disebut turut memperparah rasio pajak Indonesia terhadap PDB dengan penurunan tajam ke angka 8,3 persen pada 2020.

“Salah satu akar masalah yang disoroti Bank Dunia adalah kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan yang kurang optimal. Pada 2021, kontribusi kedua instrumen tersebut hanya sebesar 66 persen dari total penerimaan pajak atau setara dengan 6 persen dari PDB,” terangnya.

Ibrahim melanjutkan, meski lebih produktif dibanding instrumen pajak lain, angka tersebut masih relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Hal ini, menurut World Bank dapat disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, termasuk kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit.

Secara keseluruhan kondisi tersebut diperkirakan membuat Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp 944 triliun selama periode 2016—2021. Potensi ini meliputi kehilangan akibat masalah ketidakpatuhan pada PPN maupun PPh Badan, serta kehilangan akibat kebijakan perpajakan yang dipilih pemerintah.

Sentimen Eksternal

Sementara itu, dari luar negeri, sentimen kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump masih terus berpengaruh signifikan. Trump diketahui mengumumkan pada Rabu mengenai niatnya untuk mengenakan tarif sebesar 25 persen pada semua mobil dan suku cadang impor, yang berlaku mulai 2 April.

“Pasar dengan hati-hati menilai potensi dampak tarif ini, karena dapat menyebabkan implikasi ekonomi yang lebih luas yang memengaruhi permintaan minyak dan stabilitas pasar,” ujarnya.

Ibrahim menuturkan, industri otomotif merupakan konsumen energi yang signifikan, khususnya minyak. Tarif yang menaikkan harga kendaraan dapat menekan penjualan mobil, yang berpotensi mengurangi hasil produksi, dan akibatnya permintaan akan produk minyak.

Trump juga diketahui mengancam akan mengenakan tarif pada impor komoditas utama, serta sektor lain seperti semikonduktor dan farmasi. Sedangkan, Eropa, Kanada, Tiongkok, dan Meksiko telah mengecam tarif tersebut dan mengancam tindakan pembalasan, yang dapat memicu perang dagang global yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, sentimen eksternal lainnya yakni AS menjadi perantara perjanjian terpisah pada Selasa dengan Ukraina dan Rusia untuk menghentikan serangan di laut dan terhadap infrastruktur energi. Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Washington berkomitmen untuk mengadvokasi pencabutan sanksi tertentu terhadap Moskow, khususnya yang memengaruhi pertanian dan ekspor pupuk Rusia.

Namun, dalam beberapa jam setelah perundingan gencatan senjata, baik Rusia maupun Ukraina saling menuduh telah melanggar perjanjian yang ditengahi AS untuk menghentikan serangan terhadap fasilitas energi. Sementara Uni Eropa mengatakan tidak akan menerima persyaratan Rusia untuk gencatan senjata yang diusulkan di Laut Hitam.

Berdasarkan analisisnya, Ibrahim memproyeksikan rupiah akan berbalik melemah pada perdagangan selanjutnya usai libur Lebaran Idulfitri 1446 Hijriyah. “Untuk perdagangan 7 April 2025, (diprediksi) mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.550—Rp 16.660 per dolar AS,” tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement