REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini mengungkapkan adanya dampak efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah terhadap program wajib belajar 13 tahun pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Eisha mengatakan, Presiden RI Prabowo Subianto telah menetapkan komitmen dalam menjalankan program wajib belajar 13 tahun, yakni dengan memasukkan PAUD. Hal itu termaktub di dalam RPJMN 2025-2029 dan rencana kerja Pemerintah 2025.
“Namun, komitmen terhadap PAUD sebagai program wajib belajar tidak sejalan dengan efisiensi anggaran pada penyesuaian dan efisiensi APBN 2025 yang sedang berjalan dan diusulkan,” kata Eisha dalam hasil risetnya, dikutip Ahad (23/2/2025).
Eisha menjelaskan, proporsi anggaran penyelenggaraan sekolah PAUD atau bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir. Pada APBN 2025, porsi anggaran BOP PAUD, baik terhadap total belanja anggaran negara, total anggaran pendidikan, maupun terhadap PDB lebih kecil dibandingkan 2024.
“Meski anggaran BOP PAUD secara nominal mengalami peningkatan, namun porsinya terhadap total belanja negara terus mengalami penurunan sejak 2020. Bahkan pada APBN 2025 porsinya lebih kecil lagi yaitu 0,11 persen, sedangkan pada 2024 porsinya 0,12,” ungkapnya.
Adapun jika dilihat porsinya, terhadap total anggaran pendidikan, tren penurunan juga terjadi sejak 2022, bahkan porsinya menyusut menjadi 0,56 persen pada APBN 2025, lebih kecil dibandingkan pada 2024 sebesar 0,69 persen.
Eisha menyebut, mengutip studi O’Donnell et al.,2022 menunjukkan pengeluaran untuk pengembangan anak usia dini dan layanan pengasuhan anak di Indonesia sebesar 0,04 persen dari PDB. Angka tersebut masih jauh di bawah tingkat pengeluaran yang direkomendasikan sebesar 1,0 persen dari PDB.
Beradasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi anak usia 0-6 tahun sedang/pernah mengikuti pendidikan pra-sekolah di 2024 turun menjadi 27,32 persen, mengalami penurunan dibandingkan 2023 sebesar 27,38 persen.
Data yang sama menunjukkan angka partisipasi kasar (APK) PAUD usia 3-6 tahun dalam keadaan menurun, belum kembali normal pascaCovid-19. APK PAUD yang memberikan gambaran partisipasi pra-sekolah anak usia dini usia 3-6 tahun juga menunjukkan stagnasi/perlambatan di 2024 sebesar 36,03 persen dari 36,36 persen pada 2023. Angka tersebut menunjukkan, dari sebanyak 100 anak usia 3-6 tahun di Indonesia, baru sekitar 36 anak yang berpastisipasi pada pendidikan pra-sekolah.
“Dukungan terhadap PAUD semakin tergerus, dimana efisiensi anggaran berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang juga menyasar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), yaitu pada anggaran program kualitas pengajaran dan pembelajaran guru, tenaga kependidikan, dan pendidikan guru, yang sudah kecil, dipangkas habis karena efisiensi anggaran dari Rp 2,447 (Rp 2,45) triliun menjadi Rp 488 miliar,” ungkapnya.
Implikasinya, lanjut Eisha, itu akan berimbas pada anggaran diklat berjenjang guru PAUD yang merupakan syarat sertifikasi yang menyisakan Rp 0,77 miliar dari pagu awal Rp 15,24 miliar. Padahal, jumlah pendidik dan tenaga kependidikan PAUD yang belum tersertifikasi mencapai 94,25 persen, hanya 5,75 persen yang sudah tersertifikasi.
“Pemangkasan anggaran ini berimplikasi pada kualitas guru PAUD antardaerah yang akan timpang dan sedikitnya guru tersertifikasi yang akan berimplikasi pada ketimpangan proses belajar mengajar dan output kualitas pendidikan PAUD anak didik,” ujarnya.
Rekomendasi
Dengan menyoroti isu tersebut, Eisha memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah. Setidaknya ada tiga rekomendasi untuk mendorong akses dan pemerataan pendidikan anak usia dini, di tengah kondisi pemangkasan anggaran pemerintah.
Pertama, pemerintah perlu mendukung PAUD dengan kebijakan fiskal. Anggaran untuk PAUD perlu ditingkatkan untuk mendorong penyediaan sekolah PAUD yang terjangkau dengan kualitas yang baik.
Kedua, pemerintah perlu mendorong kesadaran orang tua dan masyarakat melalui sosialisasi pentingnya sekolah PAUD untuk tumbuh kembang anak dan memberikan dasar serta peluang yang lebih tinggi untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ketiga, perlu adanya peningkatan jumlah sekolah PAUD negeri yang terjangkau, terutama bagi rumah tangga tidak mampu dan berada di daerah pelosok. Saat ini jumlah sekolah PAUD negeri porsinya masih sangat sedikit dibandingkan swasta, sehingga ada konstrain biaya bagi rumah tangga miskin untuk menyekolahkan anaknya di PAUD.