REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menegaskan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah merupakan kebijakan murni pemerintah daerah. Penetapan tarif sepenuhnya menjadi kewenangan kepala daerah bersama DPRD melalui peraturan daerah.
Hal itu disampaikan Hasan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/8/2025), menanggapi tudingan bahwa kenaikan PBB-P2 merupakan dampak langsung dari kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.
“Kalau mengenai tuduhan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah ini terkait dengan kebijakan efisiensi, kami menganggap ini sebuah tanggapan yang prematur,” ujarnya.
Hasan menjelaskan kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan sejak awal 2025 berlaku untuk seluruh 500-an kabupaten/kota dan semua kementerian/lembaga di tingkat pusat, sehingga tidak dapat dikaitkan dengan kasus spesifik di daerah.
“Kalau ada kejadian spesifik, seperti di Kabupaten Pati, ini adalah murni dinamika lokal,” katanya.
Ia menambahkan, sejumlah kebijakan tarif PBB bahkan sudah ditetapkan sejak 2023 atau 2024 dan baru diimplementasikan pada 2025. Porsi efisiensi dari pemerintah pusat hanya sekitar 4–5 persen dari total transfer dana pusat ke daerah.
Fenomena kenaikan PBB-P2 terjadi di beberapa daerah. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tarif sempat naik hingga 250 persen sebelum akhirnya dibatalkan.
Kabupaten Semarang mencatat kenaikan lebih dari 400 persen, sementara Kota Cirebon dan Kabupaten Jombang bahkan mencapai 1.000 persen.
Lonjakan tarif ini memicu protes warga dan mendorong sejumlah pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap kebijakan pajak tersebut.