Kamis 27 Nov 2025 15:23 WIB

Fatwa Pajak Berkeadilan MUI Singgung Tarif PBB, Ini Perannya untuk Penerimaan Asli Daerah

Banyak pemerintah daerah masih bergantung pada transfer ke daerah (TKD).

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Askolani.
Foto: Antara/Bayu Saputra
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Askolani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) disebut masih menjadi sumber pendapatan daerah yang penting. Namun, kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah (PAD) belum kuat karena banyak pemerintah daerah bergantung pada transfer ke daerah (TKD). Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Askolani menyampaikan nilai PBB nasional pada 2024 mencapai Rp 58,8 triliun yang tersusun dari PBB-P5L sebesar 51,8 persen dan PBB-P2 sebesar 48,2 persen.

“Kondisi pemda yang masih bergantung kepada TKD membuat rata-rata porsi PBB-P2 terhadap PAD hanya berperan sebesar 5,9 persen,” ujarnya kepada Republika, dikutip Kamis (27/11/2025). Angka ini menunjukkan PBB-P2 belum menjadi tulang punggung PAD di banyak daerah.

Baca Juga

Askolani menjelaskan pajak daerah menjadi unsur paling dominan dalam pembentukan PAD dengan kontribusi 68 persen sepanjang 2025. Di dalamnya, porsi PBB-P2 berperan 13,8 persen sehingga penguatannya sangat bergantung pada kemandirian fiskal daerah.

Kontribusi PBB-P2 tidak merata antarwilayah dan mengikuti karakter pemda. Rata-rata kontribusi PBB-P2 dalam lima tahun terakhir untuk kota mencapai 8,9 persen, sedangkan kabupaten 5,5 persen.

Menurut Askolani, daerah berbasis perkotaan cenderung memiliki porsi penerimaan PBB-P2 lebih tinggi dibanding wilayah lain. PBB-P2 berkorelasi dengan jumlah penduduk, tingkat kepadatan, hingga tipe pemerintahan daerah, kabupaten atau kota.

Sebaran daerah dengan porsi PBB-P2 terbesar juga memperlihatkan ketimpangan basis pajak. Dari 50 pemda dengan porsi PBB-P2 terbesar, mayoritas pemda dengan porsi di atas 30 persen dari pajak daerah berada di Jawa 48 persen dan Sumatra 32 persen, sisanya di Sulawesi serta Kalimantan.

Jika dilihat dari tipe pemerintahan, kelompok pemda yang paling mengandalkan PBB-P2 didominasi kabupaten. Tercatat 47 pemda kabupaten dan tiga pemda kota memiliki porsi PBB-P2 di atas 30 persen dari total pajak daerah.

Askolani menambahkan, dari 20 daerah dengan porsi PBB-P2 terbesar terhadap PAD, 11 berstatus kabupaten dan sembilan lainnya kota. Pola tersebut menguatkan kesimpulan bahwa daerah pusat ekonomi atau industri memiliki potensi PBB-P2 lebih besar dibanding daerah berkarakter pedesaan atau pertanian.

Di tengah kondisi tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan fatwa pajak berkeadilan yang menilai bumi dan bangunan berpenghuni tidak layak dikenakan pajak berulang. Pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan Ronny Bako menilai fatwa itu relevan dengan keresahan masyarakat atas PBB-P2 yang terus naik.

“Pajak itu kan, yang pertama, bersifat memaksa. Yang kedua, pajak kan harus dikenakan terhadap hal-hal yang nonkonsumtif, hal-hal yang bukan kebutuhan primer. Rumah sama tanah kan kebutuhan primer orang, masak dikenakan PBB-P2 yang berulang-ulang, berkali-kali lipat,” kata Ronny saat dihubungi Republika, Selasa (25/11/2025).

Ronny menyebut rumah dan tanah sebaiknya hanya dikenai pajak satu kali di awal, bukan dipungut berulang setiap tahun. “Kalau kebutuhan primer sebenarnya pajak cuma sekali saja, pajak di muka,” ujarnya.

Ia juga mengkritik minimnya timbal balik layanan yang dirasakan wajib pajak saat PBB-P2 naik. “Jadi, kalau misalnya saya bayar PBB-P2, manfaat bagi saya apa? Apakah jalan depan rumah saya jadi mulus? Apakah PJU (penerangan jalan umum)-nya jadi terang? Itu harus ada kejelasan,” tuturnya.

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh menegaskan fatwa tersebut ditetapkan untuk merespons masalah sosial akibat kenaikan PBB yang dinilai tidak adil. “Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi,” kata Ni’am, Sabtu (23/11/2025).

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto menyatakan fatwa MUI menyoroti pajak yang dikelola pemda, bukan pemerintah pusat. “Sebenarnya yang ditanyakan itu PBB-P2, itu di (pemerintah) daerah,” ujar Bimo kepada wartawan, Senin (24/11/2025).

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Majelis Ulama Indonesia (@muipusat)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement