REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gagasan fatwa pajak berkeadilan MUI yang membatasi pajak hanya pada harta produktif dinilai berisiko menyusutkan basis pajak dan mengganggu aktivitas ekonomi. Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengingatkan, desain itu bisa membuat arah investasi masyarakat bergeser ke aset pasif.
“Kalau pajak hanya dikenakan pada harta yang produktif, artinya pajak menghukum harta yang sifatnya produktif. Apa yang akan terjadi? Masyarakat akan beralih ke aset yang tidak produktif. Kalau masyarakat beralih ke aset yang tidak produktif, apa dampaknya? Ekonomi kita tidak jalan. Kalau ekonomi kita tidak jalan, apa yang terjadi? Orang semakin sulit mencari kerja, pendapatan masyarakat ikut menurun,” kata Kepala Riset CITA Fajry Akbar kepada Republika, Selasa (25/11/2025).
Ia menambahkan, secara teknis pemisahan harta produktif dan nonproduktif sulit diterapkan di lapangan. Kondisi itu justru membuka celah penghindaran pajak.
“Selain itu, hal ini juga akan mendorong terjadinya dispute antara fiskus dengan wajib pajak. Kalau sudah sampai mendorong sengketa, hal itu justru akan menambah beban masyarakat,” jelasnya.
Fajry menekankan, pemilahan objek pajak berbasis produktif atau nonproduktif rentan memunculkan tafsir berbeda di lapangan. Ketika tafsir melebar, biaya kepatuhan naik dan sengketa pajak berpotensi bertambah.
“Jadi, semua ini hanya perbedaan persepsi atau pendapatan saja. Kita saling menghormati itu. Saya justru memberikan apresiasi karena pajak sudah dibicarakan khalayak ramai bahkan sebuah ormas agama punya concern terhadap pajak,” ungkap Fajry.
Menurutnya, diskusi pajak dari perspektif syariah penting sebagai kontrol publik terhadap kebijakan fiskal. Namun, ia mengingatkan rumusan moral tetap perlu kompatibel dengan struktur penerimaan negara.
“Asas atau prinsip dalam fatwa MUI sebenarnya sudah menjadi “ruh” kebijakan perpajakan yang ada sekarang. Misalnya asas atau prinsip keadilan dalam pajak. Justru PBB adalah jenis pajak yang progresif. Semakin kaya seseorang, semakin besar nilai propertinya (baik itu produktif atau nonproduktif) maka harus bayar pajak PBB lebih besar. Bahkan, kelompok progresif mendorong tarif PBB yang lebih tinggi bagi masyarakat yang punya properti lebih besar. Jadi, hanya perbedaan persepsi saja,” tuturnya.
Ia menilai, prinsip keadilan yang disorot MUI telah tercermin dalam kebijakan berjalan, salah satunya PBB yang progresif mengikuti nilai properti. Karena itu, ihwal yang perlu dipastikan adalah jangan sampai pembatasan objek pajak justru menggerus penerimaan dan menambah ketidakpastian.
Fajry menambahkan, sebenarnya kebutuhan primer selama ini sudah mendapat pengecualian dalam PPN. Ia menilai isu yang lebih mendesak adalah menjaga ketepatan sasaran pengecualian tersebut agar daya beli tetap terlindungi.
“Sebenarnya, pajak sudah menjadi pengurang pajak penghasilan perorangan. Kalau dia bayar zakat ke amil zakat yang resmi, nanti bukti pembayarannya dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto seseorang. Dengan begitu, pajak yang dibayarkan lebih kecil,” katanya.
Ia menambahkan, integrasi zakat dan pajak yang realistis dapat diperkuat lewat mekanisme pengurang penghasilan bagi pembayar zakat resmi. Skema itu dinilai menjaga akuntabilitas sekaligus tetap memberi ruang keadilan bagi wajib pajak muslim.