Senin 18 Sep 2023 17:24 WIB

Cegah Pengaturan Algoritma, Pemerintah Diminta Pisahkan Media Sosial dan Social Commerce

Pemerintah harus memisahkan platform e-commerce dengan social commerce.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi social commerce.
Foto: Tiktok Shop
Ilustrasi social commerce.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, perlu ada aturan yang jelas mengenai social commerce. Bhima menyampaikan, pemerintah harus memisahkan platform e-commerce dengan social commerce.

"Nanti judulnya tetap TikTok Shop juga tidak masalah tapi jangan dicampur dengan social media. Live sales boleh saja asal di platform e-commerce yang terpisah," ujar Bhima saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (18/9/2023).

Baca Juga

Bhima menilai hal ini telah diterapkan Pemerintah Inggris yang memisahkan media sosial TikTok dengan social commerce. Bhima menyampaikan, afiliasi TikTok dengan perusahaan terutama importir asal China bisa memicu persaingan usaha yang tidak sehat. 

Bhima menyoroti model algoritma pengguna media sosial yang bisa diarahkan untuk membeli barang dari penjual yang terafiliasi dengan TikTok, kemudian diberi diskon besar-besaran. Menurut Bhima, pemerintah seharusnya mengatur model algoritma TikTok agar menciptakan keseimbangan persaingan usaha. 

"Akhirnya UMKM kecil tidak mungkin bersaing dengan penjual besar. (Soal algoritma) harusnya masuk ke Kemenkominfo aturan itu," ucap Bhima.

Bhima menyarankan sejumlah hal yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, mengatur Country of Origin (COI) barang yang diperjualbelikan di e-commerce, terutama cross border. Sehingga, ada data jelas berapa porsi impornya. Bhima menilai, selama ini banyak platform mengaku memberi kesempatan pada UMKM namun sebatas menjadi reseller barang impor dan bukan sebagai produsen. 

"Kedua, integrasi seluruh data e-commerce dengan bea cukai dan perizinan impor di Kemendag," lanjut Bhima.

Bhima menyebut ketidakakuratan data masih jadi masalah sehingga kebijakan tidak terintegrasi antarkementerian dan lembaga. Bhima menyebut sinkronisasi data dapat mendeteksi produk yang masuk sebelum dipasarkan di platform. 

"Ketiga, pemisahan antara media sosial dan e-commerce wajib dilakukan sebagai langkah pengawasan yang lebih mudah," kata Bhima.

Bhima mengatakan, pemerintah juga harus mengatur diskon, promosi yang mengarah pada predatory pricing harus dalam revisi Permendag. Selain itu, Bhima juga mendorong adanya pemberlakuan hambatan nontarif seperti SNI, sertifikat halal, dan berbagai hambatan lain untuk membatasi produk impor di e-commerce.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement