REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyoroti dampak dari turunnya tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) terhadap China, yang dapat berpengaruh kepada Indonesia. Faisal mengatakan penurunan tarif AS terhadap China dari 57 persen ke 47 persen, akan menambah persaingan negara-negara produsen selain Negeri Tirai Bambu.
“Termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, negara-negara peer countries di Asia Tenggara yang sekarang itu (dikenakan tarif AS) di kisaran 19-20 persen,” kata Faisal, Jumat (31/10/2025).
Meskipun tarif yang dikenakan AS terhadap China masih dua kali lipat lebih tinggi daripada Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, Faisal menilai Tiongkok masih memiliki posisi tawar yang tinggi sebagai salah satu negara produsen terbesar di dunia.
“Walaupun masih dua kali lipatnya, tapi China dengan kondisi seperti sekarang masih punya bargaining power yang kuat dari sisi competitiveness produknya, karena dari tarif dasar, dari China (masih) sangat murah,” ujar Faisal
“Jadi artinya walaupun dikenakan tarif resiprokal 47 persen dan yang lain mungkin kisaran 19-20 persen, sangat mungkin produk China di harga di end-user atau end-consumer-nya di Amerika bisa jadi tetap bisa lebih murah atau paling tidak bersaing,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menilai dengan meredanya tensi antara AS dengan China bisa membuat Indonesia kehilangan prospek relokasi industri dari China.
 
                     
                     
      
      