REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah terus berupaya mendorong terbentuk dan berkembangnya korporasi petani. Konsep korporasi petani diperkenalkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo pada saat Rapat Terbatas Kabinet Kerja, 12 September 2017 yang khusus membahas “korporasi petani”.
Di Lampung, salah satu komoditas cukup berpotensi dikorporasikan dan banyak dikembangkan petani adalah singkong. Saat ini, secara karakter usaha tani petani singkong tak beda pada umumnya. Kepemilikan lahan per petani tak seberapa luas, terpencar, dan diusahakan sendiri-sendiri.
Menurut Kepala Balai Pelatihan Pertanian Lampung, Abdul Roni Angkat, petani singkong Lampung sangat potensial untuk dikorporasikan.“Hanya saja karena ini merupakan hal baru dan menyangkut kesadaran petani untuk bergabung dalam satu manajemen usaha, tentu hal ini tidak mudah," ujar pria yang biasa dipanggil Pak Roni ini dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Senin (15/12).
Petani, kata ia, selama ini terbiasa jalan sendiri-sendiri, dan itu tidak efisien. Oleh karena itu menurutya, diperlukan sumber daya manusia (SDM) para penggerak untuk menjadi pelopor dan motivator di tengah-tengah petani.
Kementerian Pertanian mencatat pada 2021 mendatang Lampung akan menjadi salah satu lokasi proyek percontohan korporasi petani, khususnya komoditas ubi kayu, melalui Program Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan berbasis Korporasi Petani atau biasa disebut dengan istilah Propaktani.
Kepala Balai Pelatihan Pertanian Lampung siap mendukung sepenuhnya dalam hal pengembangan SDM-nya. “Kami ini core busines-nya di bidang pengembangan SDM Pertanian, khususnya terkait pelatihan untuk petani dan penyuluh pertanian. Jadi kami siap men-support pengembangan SDM untuk korporasi petani ini," tegas pria asal Sumatera ini.
Karena ini hal baru, lanjut Roni, soal SDM perlu mendapatkan perhatian serius. "Kami siap melatih para pegiat dan penggerak korporasi petani ubi kayu di Balai Pelatihan Pertanian Lampung.”
Sementara di sisi lain, menurut Abdul Roni Angkat, para penggerak korporasi petani agar lebih “matang”. Selain mendapatkan pelatihan, mereka juga mendapatkan pembekalan tambahan dalam kegiatan inkubator agribisnis. "Balai Pelatihan Pertanian Lampung, insya Allah siap untuk itu semua," ujarnya.
Lampung merupakan penghasil singkong kelas dunia. Namun para petani lampung kerap mengeluh dengan anjloknya harga singkong. Hal itu seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
Sebagai bahan baku pangan di Lampung, pihak pabrik hanya membeli komoditas petani tersebut kisaran Rp 400 hingga Rp 1.000 per kg, padahal normalnya Rp 1.200 hingga Rp 1.400 per kg.
Perbaiki kesejahteraan petani
Salah satu upaya untuk memperbaiki kesejahteraan petani adalah dengan konsep korporasi petani. Konsep korporasi petani merupakan manajemen baru dalam pengelolaan pertanian yang bertujuan untuk mengubah pola kerja petani ke arah lebih modern, baik dalam pola pikir (paradigma) maupun cara pengolahan dan pemasaran produk dengan menggunakan platform modern.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor18 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani, Korporasi Petani didefinisikan sebagai Kelembagaan Ekonomi Petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani.
Korporasi petani diharapkan bisa menjadi jawaban atas persoalan pertanian yang selama ini sulit berkembang akibat lahan pengusahaan yang terlalu sempit, terpencar, dan dikelola oleh petani secara sendiri-sendiri.
Ahmad Suryanto, Widyaiswara di Balai Pelatihan Pertanian Lampung menjelaskan, contoh paling nyata tentang kalahnya produk dalam negeri bersaing dengan produk negara lain adalah pada kasus tapioka. Setiap tahun ratusan ribu bahkan lebih dari satu juta ton tapioka asal negera tetangga, seperti Thailand dan Vietnam, masuk ke pasar dalam negeri secara resmi lewat jalur impor guna memenuhi kebutuhan industri tekstil, kertas, papan partikel, dan lain-lain.
"Apakah produksi dalam negeri kita tidak mampu memenuhi kebutuhan tapioka itu? Senyatanya produksi ubi kayu, bahan baku tapioka, kita melimpah ruah sepanjang tahun. Tapi persoalannya harga tapioka jauh lebih mahal dan tak mampu bersaing dengan pasokan dari negeri jiran tetangga," ujarnya.
Banjirnya tapioka impor inilah kemungkinan besar yang menjadi salah satu sebab harga ubi kayu di tingkat petani seringkali berfluktuasi seperti roller coaster.
Berbagai ketidakpastian dan inefisiensi itulah, kata Ahmad Suryanto, yang ingin diselesaikan dengan adanya korporasi petani. Dengan korporasi petani skala usaha dengan lahan sempit bisa dikonsolidasikan dalam skala usaha yang lebih layak untuk dikelola secara modern menggunakan alat mesin pertanian sehingga akan lebih cepat dan murah secara biaya.
Input produksi, seperti pupuk misalnya, juga akan jauh lebih murah jika dibeli sekaligus dalam skala besar. Kemudian dari sisi pasar, produk yang dihasilkan akan lebih mudah mendapatkan mitra dan kepastian harga karena standar mutu yang jelas dan jumlahnya mencukupi tanpa harus menunggu mengumpulkan dari petani secara satu per satu.