Kamis 21 Nov 2019 19:30 WIB

Konsumsi Baja Indonesia Tertinggal dari Malaysia-Singapura

Impor baja menempati urutan ketiga terbesar dalam neraca perdagangan nasional.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja memotong lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten, Kamis (7/2).
Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Pekerja memotong lempengan baja panas di pabrik pembuatan hot rolled coil (HRC) PT Krakatau Steel (Persero) Tbk di Cilegon, Banten, Kamis (7/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk atau KS, Silmy Karim, tak menampik adanya tekanan terhadap sektor industri baja akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Silmy mengungkapkan pertumbuhan konsumsi baja nasional memang masih ada yakni sekira lima persen hingga tujuh persen mengingat sejumlah proyek pembangunan yang ada di dalam negeri.

"Itu masih relatif sedikit, Indonesia masih 50 kilogram (kg) per kapita per tahun," ujar Silmy usai rapat dengan Wakil Menteri I BUMN Budi Gunadi Sadikin di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (21/11).

Baca Juga

Silmy membandingkan dengan konsumsi negara yang industri bajanya lebih maju seperti Korea Selatan yang mencapai 1.100 kg per kapita per tahun atau 20 kali lipat konsumsi baja Indonesia. Konsumsi baja Indonesia juga kalah dibandingkan konsumsi baja negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang berada pada kisaran 300 kg per orang per tahun.

"Jadi Indonesia itu konsumsinya masih seperenamnya Malaysia, seperenamnya Singapura," lanjut Silmy.

Kendati begitu, Silmy menilai pertumbuhan konsumsi baja Indonesia masih memiliki potensi. Persoalannya, kata dia, siapa yang akan menikmati pertumbuhan konsumsi baja.

"Misalnya impor, neraca perdagangan kita akan tertekan, akhirnya rupiah kita tertekan, makanya kita harus mempersiapkan bagaimana industri baja ini bisa swasembada," ucap Silmy.

Silmy menyebut impor baja memiliki kontribusi besar lantaran menempati posisi ketiga dalam neraca perdagangan. "Kita ngomong bagaimana industri baja harus sehat sehingga tidak menekan neraca perdagangan Indonesia. Nomor tiga, besar sekali setelah minyak," kata Silmy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement