Sabtu 24 May 2025 18:15 WIB

Pakar: Kebijakan Pertek Dinilai Lebih Sesuai WTO Dibandingkan Tarif Baja AS

Sejak era Trump, cakupan tarif baja AS diperluas hampir seluruh jenis produk baja

Kebijakan pengendalian impor baja mekanisme Persetujuan Teknis (Pertek) dinilai lebih sejalan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dibandingkan kebijakan tarif baja yang diterapkan AS
Foto: ANTARA FOTO/ASEP FATHULRAHMAN
Kebijakan pengendalian impor baja mekanisme Persetujuan Teknis (Pertek) dinilai lebih sejalan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dibandingkan kebijakan tarif baja yang diterapkan AS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pengendalian impor baja melalui mekanisme Persetujuan Teknis (Pertek) dinilai lebih sejalan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dibandingkan kebijakan tarif baja yang diterapkan Amerika Serikat.

Pengamat industri baja dan pertambangan Widodo Setiadharmaji menyampaikan, Pertek Indonesia memiliki dasar evaluasi kebutuhan industri dan kapasitas produksi dalam negeri. Sementara kebijakan tarif AS bersifat otomatis dan cenderung melanggar prinsip perdagangan bebas.

“Amerika Serikat memang punya mekanisme Product Exclusion Process untuk membebaskan tarif impor dalam kondisi tertentu. Tapi pendekatannya fiskal dan represif, berbeda dengan pendekatan administratif Indonesia melalui Pertek,” ujarnya.

Kebijakan tarif baja AS diberlakukan sejak 2018 melalui Section 232 of the Trade Expansion Act of 1962, yang memungkinkan Presiden AS mengenakan pembatasan impor atas dasar alasan keamanan nasional. Pada awalnya, tarif 25 persen dikenakan secara selektif terhadap produk dari negara tertentu seperti Tiongkok.

Namun sejak masa jabatan kedua Presiden Donald Trump, cakupan tarif diperluas menjadi hampir seluruh jenis produk baja dari semua negara tanpa kecuali. Strategi ini dikenal sebagai “Tarif Trump Jilid Kedua”.

Jika AS mengenakan tarif terlebih dahulu dan baru memberi pengecualian, Indonesia justru melakukan evaluasi kebutuhan terlebih dahulu sebelum menerbitkan izin impor. Proses pengajuan Pertek mewajibkan importir menyertakan data spesifikasi produk, rencana penggunaan, dan justifikasi kebutuhan industri.

“Prinsip dasarnya sama: impor hanya boleh dilakukan jika produk tersebut tidak dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri. Tapi Indonesia melakukannya secara lebih transparan dan proporsional,” kata Widodo.

Sejauh ini, mekanisme Pertek belum pernah menjadi subjek gugatan formal di WTO. Meski sempat dipertanyakan dalam forum seperti Trade Policy Review dan Komite Perizinan Impor, seluruh isu diselesaikan melalui konsultasi terbuka. Sebaliknya, kebijakan tarif baja AS telah diputus melanggar WTO dalam sengketa WT/DS544/R (China v. US) pada Desember 2022.

“WTO menilai alasan keamanan nasional yang dipakai AS tidak relevan dan tidak proporsional terhadap ancaman nyata. Ini menunjukkan model evaluasi kebutuhan seperti Pertek justru lebih dapat diterima komunitas internasional,” ujar Widodo.

Di sisi lain, arahan Presiden Prabowo untuk menyederhanakan regulasi impor, termasuk mekanisme Pertek, mencerminkan komitmen pemerintah menata ulang strategi industri nasional. Penegasan bahwa pengaturan seperti Pertek hanya dapat diberlakukan lewat Keputusan Presiden (Keppres) dinilai sebagai langkah penting untuk memperkuat arah kebijakan industri yang terpusat dan strategis.

Meski demikian, Widodo menilai implementasi kebijakan ini memerlukan reformasi kelembagaan agar tetap efisien dan responsif terhadap kebutuhan industri.

“Berbeda dengan AS yang mengenakan tarif secara otomatis, Indonesia mengharuskan setiap importir mengajukan izin secara individual. Ini menuntut sistem pendukung yang kuat agar proses tidak menghambat produksi dan rantai pasok,” tambahnya.

Widodo menegaskan, mekanisme seperti Product Exclusion Process yang diterapkan AS pada dasarnya merupakan bentuk lain dari pengendalian impor teknis—yang secara substansi serupa dengan Pertek.

“Ini menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengendalian impor bukan hambatan, tapi instrumen strategis untuk menjaga kedaulatan industri nasional,” tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement