Senin 26 Aug 2019 10:01 WIB

Indef: Tiga Faktor Atasi Faktor Pembiayaan Defisit APBN

Harus diperhatikan apakah pembiayaan defisit APBN akan menarik investasi ke dalam.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Defisit APBN melebar
Foto: Republika
Defisit APBN melebar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah menuturkan, setidaknya ada tiga faktor yang patut diperhatikan pemerintah dalam mencari pembiayaan atas defisit APBN. Ketiganya adalah dampak pengganda, risiko pembiayaan dan biaya keekonomian.

Imaduddin menuturkan, sesuai dengan alasan utama dari kebijakan defisit APBN yaitu sebagai stimulus perekonomian, dampak pengganda menjadi hal yang krusial. Tujuannya, untuk menganalisis berbagai sumber pembiayaan yang ada.

Baca Juga

"Aspek multiplier effects pertama adalah apakah pembiayaan defisit APBN akan menarik investasi ke dalam (crowding in) atau mendorong terjadinya crowding out dari investasi," tuturnya dalam diskusi Indef, Ahad (25/8). 

Aspek berikutnya dari efek pengganda adalah terkait kecepatan implementasi dan realisasi. Imaduddin mengatakan, jika implementasi dan realisasinya lambat, maka dikhawatirkan dampak positif dari pembiayaan tersebut tidak optimal. Dampak akhirnya, akan memunculkan opportunity cost

Dalam hal ini, Imaduddin menjelaskan, penyerapan pembiayaan dari pinjaman perlu menjadi perhatian. Sebab, menurut data yang dikutip dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), rata-rata penyerapan untuk pembiayaan dari pinjaman hanya 67 persen.

Aspek kedua yang harus diperhatikan pemerintah atas pembiayaan defisit APBN adalah terkait risiko pembiayaan. Ini dapat dilihat dari sejumlah indikator antara lain adalah jangka waktu hingga porsi valuta asing. 

"Dan apakah bunganya mengambang atau tetap," kata Imaduddin. 

Dalam konteks ini, setiap utang yang diterbitkan oleh pemerintah harus tetap berpegangan pada berbagai indikator risiko yang sudah ditetapkan. Hal ini bertujuan risiko utang dapat dikelola secara baik dan fiskal Indonesia dapat berkelanjutan.

Aspek ketiga, terkait biaya keekonomian. Dalam hal ini, Imaduddin menambahkan, tingkat efisiensi dalam biaya utang diukur dengan membandingkan tingkat effective cost dengan mempertimbangkan tenor, sektor, dan waktu.

Dalam hal ini, Imaduddin mengatakan, pembiayaan yang bersumber dari pinjaman luar negeri cenderung memiliki biaya efektif yang rendah. Khususnya, yang menggunakan skema kerja sama pembangunan.

Selain rendahnya biaya keekonomian, Imaduddin mengatakan, kerja sama pembangunan memungkinkan implementasi proyek-proyek pembangunan dapat lebih berkualitas. Hal ini mengingat term and conditions dari pinjaman proyek luar negeri yang mensyaratkan sejumlah kewajiban. 

"Seperti kesiapan finansial, kelembagaan, dan operasional dalam bentuk dokumen proyek sebelum pinjaman tersebut dapat dicairkan," ujarnya.

Hal tersebut dinilai Imaduddin dapat membuat setiap uang yang dikeluarkan dari implementasi proyek yang pendanaannya bersumber dari pinjaman luar negeri dapat berkualitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement