Kamis 06 Nov 2025 20:47 WIB

DJP Dalami 282 Wajib Pajak Diduga Manipulasi Ekspor Sawit

Langkah ini diambil setelah terungkapnya praktik underinvoicing.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto.
Foto: Republika.co.id
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperluas penyelidikan terhadap 282 wajib pajak yang diduga melakukan manipulasi nilai ekspor produk turunan sawit. Langkah ini diambil setelah terungkapnya praktik underinvoicing dan penyamaran klasifikasi barang melalui label fatty matter yang merugikan negara sekitar Rp 140 miliar.

“Setelah ini, 282 wajib pajak yang melakukan ekspor serupa akan kami periksa, bukper, dan sidik sesuai kecukupan bukti awal,” ujar Dirjen Pajak, Bimo Wijayanto, di New Port Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (6/11/2025).

Baca Juga

Bimo mengatakan, pemeriksaan dilakukan untuk memastikan kebenaran data, kesesuaian nilai transaksi, serta kepatuhan para pelaku terhadap kewajiban perpajakan. Pemerintah menilai, temuan ini merupakan bagian dari upaya memperbaiki tata kelola ekspor-impor yang selama ini menjadi celah kebocoran penerimaan negara.

“Pendekatan kami hari ini adalah penegakan hukum dengan multi-door approach. Kami bekerja sama dengan Satgas Optimalisasi Penerimaan Negara Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, BPKP, dan KPK,” ucapnya.

Dari hasil penelusuran DJP, sebanyak 25 wajib pajak pada 2025 melaporkan ekspor fatty matter senilai Rp 2,08 triliun. Barang tersebut ternyata merupakan turunan crude palm oil (CPO) yang seharusnya dikenakan bea keluar dan pungutan ekspor. Modus serupa juga ditemukan pada periode 2021–2024 dengan komoditas palm oil mill effluent (POME) yang nilainya mencapai Rp 45,9 triliun.

“Untuk POME ada 257 laporan dengan nilai total PEB sekitar Rp 45,9 triliun. Ini masih dugaan apakah benar POME atau bukan, dan masih dalam proses investigasi oleh tim kami di Direktorat Penegakan Hukum DJP,” ujar Bimo.

Ia menegaskan, pemerintah tidak akan menoleransi praktik manipulasi dokumen ekspor yang merugikan keuangan negara. “Selain efek deterrent, yang paling penting adalah pembenahan tata kelola agar hilirisasi industri sawit mencapai target dan nilai tambahnya berada di Indonesia,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement