Senin 08 Apr 2019 11:29 WIB

Soal Sawit, RI-Malaysia Kirim Surat Keberatan ke Uni Eropa

ndonesia dan Malaysia memiliki porsi 85 persen sebagai penghasil minyak sawit dunia

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Pematang Raman, Kumpeh, Muarojambi, Jambi, Jumat (15/2).
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Pekerja memuat tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Pematang Raman, Kumpeh, Muarojambi, Jambi, Jumat (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjatian, mengatakan, Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Malaysia telah mengirim surat keberatan kepada komisi Uni Eropa terkait rencana UE terkait pengurangan penggunaan bahan bakar nabati berbasis sawit, Ahad (7/4) malam. Surat tersebut ditandatangani langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad.

“Presiden Joko Widodo dan PM Mahathir sudah menandatangi surat bersama. Ini gebrakan kita karena bagi Indonesia, hal ini menyangkut nasib 20 juta petani sawit,” kata Luhut di kantornya, Senin (8/4).

Baca Juga

Namun, Luhut tidak bersedia menjelaskan lebih detail isi dari surat itu. Ia menekankan, secara umum surat bersama antara Indonesia dan Malaysia merupakan upaya penyampaian keberatan atas rencana Uni Eropa.

Sebab, di sisi lain, Indonesia dan Malaysia memiliki porsi 85 persen sebagai penghasil minyak sawit dari negara-negara di dunia yang juga memproduksi sawit.

Luhut pun meminta kepada Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), khususnya yang bergerak di bidang lingkungan untuk ikut mendukung upaya pemerintah menghadapi tantangan berat ke depan. “Saya berharap LSM juga merasa terpanggil, jangan hanya bicara soal masalah lingkungan. Coba bangkitkan nasionalisme untuk petani kita,” kata Luhut.

photo
Uni Eropa bersikap diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia.

Ia mengklaim, soal deforestasi yang ditimbulkan dari industri sawit tidak didiamkan begitu saja. Pemerintah memastikan tidak akan membuat kebijakan yang akan merusak lingkungan dan berdampak pada generasi mendatang. Hingga saat ini, kata Luhut, pemerintah bersama para pelaku industri juga terus memperbarui teknologi untuk mengurangi dampak lingkungan.

Sementara itu, kebijakan satu peta atau yang disebut One Map Policy, salah satunya juga untuk mengukur total luasan lahan perkebunan sawit di Indonesia. Dengan begitu, pengawasan ke depan kepada para pelaku industri dalam pengguhaan lahan hutan akan semakin ketat. Sebagai catatan, total luasan lahan sawit menurut pemerintah sementara ini mencapai 14 juta hektare. Luasan itu telah dimoratorium.

“Kalau nanti masih ada yang mencuri (lahan) sana-sini, ya itu kan kita sikapi dengan pengawasan. Ini tujuannya supaya kita bisa kontrol dengan teknologi yang bisa kita pahami,” katanya.

Terlepas dari ketegangan dengan Uni Eropa, Luhut mengakui, pemerintah harus menyiapkan antisipasi lainnya. Yakni dengan peningkatan penggunakan minyak sawit sebagai bahan bakar kendaraan. Saat ini, sudah terdapat biodiesel 20 persen (B-20). Ke depan, kata dia, penggunaan sawit akan terus di perbesar hingga bisa mencapai B-100.

Namun, menurut Luhut, peningkatan minyak sawit sebagai bahan bakar kendaraan harus diikuti dengan peningkatan produksi. Ke depan, ia mengklaim, pemerintah bersama pelaku industri akan menjalankan program replanting yang menyasar 40 persen petani plasma perkebunan sawit. Program itu dilakukan dengan memberikan bibit yang lebih baik sehingga produktivitas bisa meningkat.

Dari yang semula hanya sekitar 1-5 ton sawit per hektare, menjadi 6-9 ton per hektare. Di sisi lain, peningkatan produksi itu harus dibarengi dengan kepastian harga. Luhut mengatakan, harga minyak sawit harus dipertahankan di level 800-900 dolar AS per ton agar dapat menguntungkan petani.

“Impor minyak mentah harus kita kurangi dan diganti dengan sawit. Tapi ada saja orang yang tidak suka, ini yang harus kita sapu,” katanya. Selain itu, Luhut menyatakan, pemerintah siap mencari pasar ekspor baru di luar kawasan Eropa untuk komoditas sawit dan turunannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement