Kamis 27 May 2021 09:33 WIB

Pengusaha Minta Pemerintah Konsisten Terapkan Regulasi Sawit

Indonesia menjadi produsen terbesar minyak sawit CPO, CPKO dan produk turunan sawit.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja menurunkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam truk pengangkutan (ilustrasi).
Foto: SYIFA YULINNAS/ANTARA
Pekerja menurunkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari dalam truk pengangkutan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai berhasil menciptakan kebijakan iklim investasi yang kondusif sehingga ada investasi baru, perluasan usaha, transfer teknologi, kesempatan kerja serta berbagai efek berganda bagi pemerataan ekonomi. Namun, tetap dibutuhkan konsistensi dalam menerapkan kebijakan hilirisasi sawit.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), Rapolo Hutabarat, mengatakan, konsistensi regulasi sangat diperlukan oleh dunia usaha. Apolin mengharapkan agar pemerintah tetap mempertahankan PMK 191/2020 untuk menjaga momentum serta meningkatkan daya saing industri sawit nasional bagi perekonomian kita.

Baca Juga

Menurutnya, Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit CPO, CPKO serta berbagai produk turunannya telah berhasil mengendalikan pasar global, baik dari sisi volume ekspor, keragaman/aneka produk olahan minyak sawit, memasok bahan baku industri pengguna yang beragam serta mampu menembus pasar di berbagai belahan dunia.

"Keberhasilan ini buah hasil kebijakan pemerintah yang sangat konsisten menjaga berbagai regulasi industri sawit di Indonesia,” kata Rapolo dalam pernyataan resmi Apolin, Kamis (27/5). Karena itu, pemerintah diminta konsisten menjalankan empat regulasi di sektor hilir sawit.

Pertama, pemerintah diminta tidak merevisi pungutan ekspor sawit dalam PMK Nomor 191/PMK.05/2020. Rapolo menjelaskan Peraturan menteri keuangan ini sangat holistik dalam mengakomodir berbagai kepentingan industri sawit mulai dari hulu (perkebunan dan termasuk kepentingan petani sawit), downstream (industri proses tahap pertama), mid-downstream (industri proses tahap kedua), dan further downstream (industri proses tahap ketiga atau yang lazim kita sebut industri oleochemical.

“Selain itu, manfaat dari PMK 191/2020 tersebut juga menjangkau berbagai kepentingan lainnya seperti makin tersedianya dana peremajaan kelapa sawit petani; kegiatan riset; pendanaan kampanye positif; serta biaya advokasi,” ungkapnya.

Ia menambahkan, manfaat paling fundamental PMK 191/2020 adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dalam negeri (menjamin tersedianya bahan baku utama industri hilir) serta kebutuhan ekspor untuk perolehan devisa negara.

Kedua, PMK 130/2020 tentang Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Peraturan ini lebih dikenal dengan tax holiday, dimana relaksasi yang diberikan oleh pemerintah makin diperluas, fasilitas pengurangan PPh-nya 100  tergantung besaran investasinya.

Ketiga, PMK 96/2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Bidang Tertentu dan/atau di Daerah Tertentu, yang lazim disebut sebagai tax allowance. Ini memberikan fasilitas berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen (sebesar 5 persen selama enam tahun), penyusutan/amortisasi yang dipercepat atas aktiva tetap, tarif PPh 10 persen atau yang lebih rendah terhadap dividen, dan kompensasi atas kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

Keempat yaitu kebijakan harga gas murah yang mendukung daya saing industri oleokimia.  Kebijakan  Permen ESDM Nomor 8 tahun 2020 tentang Harga Gas Bumi Tertentu Untuk Industri Tertentu Dan Kepmen ESDM Nomor 89 Tahun 2020 Tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu Serta Permenperin Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rekomendasi Pengguna Gas Bumi Tertentu.

Menurut Rapolo, peraturan pelaksana tersebut sangat berpihak kepada industri dan sekaligus implementasi Perpres Nompr 40 tahun 2016 sebagaimana telah diubah dalam Perpres Nomor 121 tahun 2020 tentang Penetapan harga gas tertentu sehingga harga gas di halaman industri pengguna sebesar 6 dolar AS per MMBTU.

“Dengan kebijakan harga gas industri ini, maka daya saing global produk oleochemical Indonesia semakin tinggi di pasar global. Terima kasih kepada pemerintah, dan semua regulasi tersebut diatas tentu sangat mendukung hilirisasi sawit Indonesia,” jelas Rapolo.

Sebagai tambahan, ia mengungkapkan, volume ekspor oleochemical periode Januari-Maret 2021 tumbuh 11,15 persen menjadi 982 ribu ton dibandingkan periode sama tahun 2020 berjumlah 883,5 ribu ton. Karena itu, diperlukan iklim usaha yang kondusif agar industri hilir sawit terus berkontribusi positif terhadap perekonomian nasional. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement