REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) menyampaikan, harga rata-rata minyak sawit pada bulan Maret 2021 adalah 1.116 dolar AS per ton CIF Rotterdam atau lebih tinggi 21 dolar AS (1,9 persen) dari harga bulan Februari. Kenaikan harga disebabkan oleh banyaknya perubahan prediksi produksi oilseeds dan kenaikan produksi biodiesel dunia.
Ketidakpastian tanam dan produksi oilseeds menyebabkan permintaan minyak sawit meningkat, karena sebagai tanaman tahunan, produksinya lebih bisa terprediksi.
Direktur Eksekutif Gapki, Mukti Sardjono, mengatakan, Indonesia mendapat keuntungan dari situasi ini, karena produksinya praktis tidak terganggu oleh Covid-19 sehingga ekspor meningkat tajam.
"Ekspor minyak sawit Maret 2021 diperkirakan mencapai 3.244 ribu ton atau 62,7 persen lebih tinggi dari ekspor Februari yang sangat rendah yaitu 1.994 ribu ton. Kenaikan harga dan volume diperkirakan menghasilkan nilai ekspor sawit bulan Maret sekitar 3,74 miliar dolar AS atau 80 persen lebih tinggi dari perkiraan ekspor bulan Februari sebesar 2,08 miliar dolar AS," katanya dalam keterangan resmi diterima Republika.co.id, Kamis (29/4).
Ia melanjutkan, adapun konsumsi dalam negeri 1.599 ribu ton sedikit terkoreksi dibandingkan dengan bulan Februari sebesar 1.604 ribu ton. Konsumsi minyak sawit untuk biodiesel turun 0,5 persen menjadi 625 ribu ton dari 635 ribu ton pada Februari dan oleokimia juga turun 3,4 persen menjadi 168 ribu ton dari 174 ribu ton. Secara YoY sampai dengan Maret 2021, konsumsi dalam negeri 3,8 persen lebih tinggi dari 2020.
Produksi minyak sawit Indonesia bulan Maret 2021 naik lebih dari 20 persen menjadi 3.712 ribu ton. Kenaikan yang sangat tinggi ini merupakan limpahan produksi bulan Februari yang hanya sebesar
3.079 ribu ton, 10 persen lebih rendah dari bulan Januari. Namun, secara YoY sampai dengan Maret, produksi CPO 2021 1,6 persen lebih tinggi.
Kenaikan produksi bulan Maret sebesar 633 ribu ton, lebih kecil dari kenaikan ekspor dan konsumsi dalam negeri yang totalnya diperkirakan mencapai sekitar 1,4 juta ton. Keadaan ini menyebabkan stok akhir turun dari 4,02 juta ton menjadi 3,20 juta ton.
BMKG memperkirakan kemarau akan dimulai pada bulan April 2021. Oleh karena itu, pekebun perlu melakukan antisipasi dan meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran agar produksi tidak terganggu.