REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menilai transmisi kebijakan moneter terhadap kredit masih belum berjalan optimal. Bank sentral mencatat hingga akhir Maret 2016, pertumbuhan kredit sebesar 8,7 persen (yoy), meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 8,2 persen (yoy).
Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, transmisi kebijakan moneter di bidang suku bunga sudah berjalan baik dengan penurunan suku bunga deposito 57 bps dan suku bunga kredit sebesar 22 bps pada April.
"Yang perlu didorong adalah transmisi kebijakan ke jalur kredit. Pertumbuhan krdit 8,7 persen ini kurang. Kami perlu dorong pertumbuhan kredit," kata Perry Warjiyo di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (20/5).
Untuk itu, kata Perry, faktor penawaran dan permintaan terhadap kredit juga penting. Menurutnya selama ini BI sudah berupaya mendorong penawaran kredit dari perbankan dengan melonggarkan likuiditas, menurunkan bunga, dan melonggarkan kebijakan makro prudensial.
"Yang perlu didorong koordinasi pemerintah adalah dari sisi prmintaan. Investasi pembangunan naik dengan stimulus fiskal, ini untuk mendorong permintaan investasi swasta, konsumsi yang lain ini perlu diperkuat agar permintaan kredit naik,"jelasnya.
Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo menambahkan, target pertumbuhan kredit hingga kini masih belum berubah. Diperkirakan pertumbuhan kredit akan meningkat di semester 2 tahun ini.
"Kita mengharapkan agar kredit sampai April 7,95 persen (yoy). Kita masih melihat target kredit masih belum berubah. Kisaran 11 persen sepanjang tahun dan ini akan lebih kuat pd semester 2," kata Agus.
Sementara rasio kredit bermasalah (Nonperforming Loan/NPL) berada di kisaran 2,8 persen (gross) atau 1,4 persen (net). Rasio NPL ini naik 0,1 persen dari akhir tahun 2015 yang sebesar 2,7 persen.