REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong perusahaan-perusahaan asuransi umum nasional lebih aktif dan agresif mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur. Seperti diketahui, proyek pembangunan infrastruktur 2015-2019 membutuhkan dana sebesar Rp 5.519,4 triliun. APBN plus APBD hanya mampu memenuhi 50 persen kebutuhan dana.
"Tambahan dari BUMN hanya sekitar 20 persen, sisanya porsi pembiayaan yang terbuka bagi swasta,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perbankan dan Finansial Rosan Roeslani dalam rilis yang dierima Republika, Rabu(12/8).
Proyek-proyek infrastruktur yang diprogramkan pemerintah, lanjut dia, membutuhkan dana besar. Peluang perusahaan asuransi nasional untuk berpartisipasi dalam pembiayaan infrastruktur bukan hanya terbuka, tapi juga dibutuhkan. Merujuk data OJK 2015, total investasi industri asuransi nasional sebesar Rp 527,929 triliun.
Alokasi prioritas masih terarah pada deposito bank dan surat berharga. Peluang dalam pembiayaan infrastruktur justru diambil oleh perusahaan pembiayaan asing, sementara asuransi nasional masih sebatas subkontraktor.
Karena itulah peran asuransi sangat dibutuhkan untuk menutupi kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur. Apalagi proyek infrastruktur terhitung berjangka panjang dan lebih berisiko. Sektor perbankan akan menimbang risiko proyek seperti ini. Dengan belum hadirnya bank infrastruktur di Indonesia, maka terbuka kesempatan bagi lembaga-lembaga pembiayaan, termasuk asuransi untuk berpartisipasi.
“Dana pihak ketiga (DPK) bank umum nasional per Februari mencapai Rp 4,15 triliun dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) sekitar 88,26 persen," terangnya. Dengan LDR sebesar itu, perbankan akan lebih memilih pembiayaan jangka pendek dibandingkan investasi pada proyek infrastruktur.
Rosan juga mengajak industri asuransi nasional untuk berani meminta kepada pemerintah untuk diberi kesempatan membiayai infrastruktur. Tujuannya agar pembiayaan tidak jatuh ke perusahaan asing sebagai akibat dari pinjaman luar negeri pemerintah.
Pasalnya, pinjaman bilateral bisa berujung pada tekanan negara kreditur agar memprioritaskan perusahaan asal negaranya dalam proyek pembangunan hingga tekanan pada penggunaan konten lokal. Efek lanjutannya adalah biaya proyek akan lebih tinggi dan meningkatnya impor dari negara kreditur yang berujung pada defisit perdagangan.
Presiden Direktur Indonesia Infrastructure Finance (IIF) Sukatmo Padmosukarso menilai penting kehadiran industri asuransi dalam membiayai proyek infrastruktur. Dia secara khusus menyebutkan beberapa sektor yang layak digarap pihak swasta, yaitu ketenagalistrikan, minyak dan gas, teknologi informasi dan komunikasi, serta transportasi jalan raya.
"Peran industri asuransi dalam proyek infrastruktur bisa sebagai penjamin atau instrumen dalam manajemen risiko, dan bisa juga dalam pembiayaan atau penyediaan dana bagi investasi infrastruktur,” kata Sukatmo.
N sonia fitri