REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus pinjol ilegal di Sleman, Yogyakarta, sempat menghebohkan publik. Laporan masyarakat mengungkap praktik bunga mencapai 4 persen per hari, membuat pinjaman Rp 3 juta membengkak menjadi Rp 30 juta hanya dalam hitungan bulan. AFPI menyebut praktik itu sebagai bentuk predatory lending yang berbahaya bagi konsumen.
“Bayangkan, pinjam Rp 3 juta dalam 2–3 bulan bisa jadi Rp 30 juta. Itu jelas predatory lending, dan praktik seperti itu dilarang. Karena itu ada pembatasan bunga,” kata Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah, dalam sesi berbagi bersama media di Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Ia menjelaskan, pembatasan bunga 0,8 persen per hari yang diberlakukan sejak 2019 bukanlah kesepakatan harga antar-platform, melainkan arahan OJK untuk membedakan pinjol legal dari ilegal. “Kalau ini (pembatasan bunga) kan arahan OJK. Jadi bukan inisiatif pelaku usaha yang duduk bersama untuk menetapkan harga,” ujarnya.
Menurutnya, aturan itu justru membatasi keuntungan perusahaan. “Awalnya pelaku usaha mungkin merasa tidak happy karena tanpa aturan mereka bisa menetapkan bunga lebih tinggi. Dengan adanya batas, keuntungan mereka dibatasi, konsumen terlindungi,” katanya.
Seiring waktu, ketentuan bunga diturunkan menjadi 0,4 persen, hingga akhirnya OJK menetapkan batas maksimal 0,3 persen per hari melalui SEOJK 19/2023. AFPI pun resmi mencabut aturan internalnya pada 8 November 2023. “Jadi selain memang tidak pernah ada kesepakatan, bukti yang dianggap ada pun sebenarnya sudah tidak relevan lagi karena sudah tidak berlaku,” tegas Kuseryansyah.
Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum persaingan usaha Universitas Indonesia, Ditha Wiradiputra, menilai penggunaan istilah kartel dalam polemik pinjaman daring kurang tepat. “Kalau kita konsisten dengan UU, istilah kartel tidak tepat. Yang sesuai disebut penetapan harga atau price fixing. Ini penting agar tidak terjadi misinterpretasi,” ujarnya.
Ditha juga meragukan apakah pedoman asosiasi bisa langsung dikategorikan sebagai price fixing. Ia mencontohkan, praktik price fixing biasanya berbentuk kesepakatan tertutup antarperusahaan untuk menyamakan harga, seperti kasus SMS operator telekomunikasi beberapa tahun lalu.
KPPU sebelumnya menyebut ada 97 perusahaan fintech P2P lending yang berstatus terlapor dalam perkara dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Jumlah ini menjadi yang terbanyak dalam sejarah lembaga tersebut.