Rabu 16 Apr 2025 15:00 WIB

Ekonom Sebut Kebijakan BI Lemahkan Daya Beli Masyarakat Kelas Bawah

Melemahnya daya beli kelas bawah dan menengah diperparah arah kebijakan BI.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Ekonom sebut kebijakan moneter BI memberi pengaruh yang memperparah kondisi pelemahan daya beli masyarakat kelas bawah.  (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Ekonom sebut kebijakan moneter BI memberi pengaruh yang memperparah kondisi pelemahan daya beli masyarakat kelas bawah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Bright Instute Awalil Rizky mengkritisi kinerja Bank Indonesia (BI) mengenai arah kebijakan melalui operasi moneter (OM) yang dilakukan selama ini. Menurut Awalil, kebijakan moneter BI memberi pengaruh yang memperparah kondisi pelemahan daya beli masyarakat kelas bawah. 

“Saya berpandangan, melemahnya daya beli masyarakat kelas bawah dan bahkan kelas menengah diperparah oleh arah kebijakan BI,” ujar Awalil dalam keterangannya, Rabu (16/4/2025). 

Baca Juga

Awalil menjelaskan lebih lanjut mengenai peran BI yang diamanatkan menjalankan kebijakan moneter dan bersifat independen sejak 1999, yakni bertujuan mencapai stabilitas nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah didefinisikan sebagai kestabilan harga barang dan jasa yang diukur dari inflasi yang stabil, serta nilai tukar rupiah yang diukur dari nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. 

“Salah satu instrumen pokok kebijakan moneter Bank Indonesia adalah Operasi Moneter (OM). OM bertujuan mendukung pencapaian stabilitas moneter yang dilaksanakan di pasar uang dan pasar valas secara terintegrasi,” ujarnya. 

OM terutama dilakukan dengan mengendalikan suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) overnight. Pengendalian dilakukan agar bergerak di sekitar suku bunga kebijakan BI, yaitu BI-Rate dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar bergerak stabil, sejalan dengan nilai tukar fundamental.

Adapun, pengelolaan likuiditas di pasar uang rupiah, dilakukan dengan cara absorpsi likuiditas dan injeksi likuiditas. Sedangkan untuk menjaga nilai tukar agar sejalan dengan nilai tukar fundamental, OM dilakukan melalui pelaksanaan intervensi dan atau transaksi valas lainnya di pasar valuta asing. 

Operasi Moneter Bank Indonesia dilakukan secara konvensional dan ada yang berdasarkan prinsip syariah. Keduanya memiliki berbagai instrumen kebijakan, baik yang absorsi ataupun injeksi. Sejauh ini nilai yang konvensional jauh lebih besar, selalu mencapai lebih dari 90 persen.  

Instrumen OM konvensional yang bersifat absorpsi atau menyerap likuditas perekonomian, terutama dari perbankan, antara lain: Serifikat Bank Indonesia (SBI), Term Deposit (TD), Reverse Repo SBN, Sertifikat Deposit Bank Indonesia (SDBI), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan Deposit Facility. Instrumen Syariah antara lain: Serifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Sukuk BI, Reverse Repo SBSN, dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS).

Sedangkan yang bersifat injeksi atau menggelontorkan likuditas secara konvesional, terutama melalui perbankan antara lain repo dan lending facility. Sedangkan instrumen syariah antara lain repo SBSN dan financing facility.

“Operasi militer BI selama lebih dua dekade terakhir lebih bersifat absorpsi atas likuditas perekonomian. Terlihat dari nilai neto operasi moneter bersifat absorpsi, dan didukung oleh lebih banyaknya instrumen dibanding yang bersifat injeksi,” ungkapnya. 

Awalil menerangkan, arah kebijakan tersebut makin kentara dalam lima tahun terakhir, dan mengalami lonjakan pada 2024. Menurut catatannya, posisi OM yang menyerap meningkat drastis dari Rp 297,49 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp 694,01 triliun pada akhir 2020 dan Rp 881,27 triliun pada akhir 2021. Lalu sempat sedikit menurun pada 2022 dan 2023, namun kembali melonjak menjadi Rp 945,56 triliun pada akhir 2024.

“Kondisi terkini pun masih berposisi absorpsi yang bernilai besar, mencapai Rp 922,58 triliun per 31 Maret 2025,” terangnya. 

Sebagai informasi, beberapa instrumen tidak dipakai lagi atau sedang dalam posisi nihil. Instrumen bernilai besar antara lain SRBI (Rp 891,13 triliun), repo (Rp 165,31 triliun), deposit facility (Rp 103,49 triliun), dan sukuk BI (Rp 64,48 triliun).

“Dari berbagai narasi kebijakan Bank Indonesia, alasan utama operasi moneter adalah menjaga tingkat inflasi. Biasa pula ditekankan menjaga faktor stabilitas kondisi keuangan. Dengan demikian bisa ditafsirkan, kebijakan ini merupakan salah satu penyebab rendahnya inflasi selama beberapa tahun terakhir,” ungkap Awalil. 

Akan tetapi, lanjutnya, para pakar bisa mengartikan sebagai kurangnya dorongan pada pertumbuhan ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja. Para pakar pun dapat mengkritik kebijakan ini yang membuat bank menjadi ‘malas’ menyalurkan ke sektor riil.

Awalil mengatakan, menariknya, pada saat bersamaan, kepemilikan Bank Indonesia makin banyak atas SBN domestik, mencapai Rp 1.547,41 triliun atau 24,62 persen dari total per 10 April 2025. Dengan demikian, BI memberi utang kepada Pemerintah, namun berutang pada bank dan pihak asing.  

“Bisa saja ditafsirkan BI menilai uang lebih berguna disalurkan ke Pemerintah dibanding ke sektor riil melalui bank. Secara teknis tampak pula bahwa BI mengeluarkan tambahan biaya operasi moneter, karena hasil dari SBN Pemerintah lebih rendah dari yang harus dibayar untuk SRBI,” terangnya.

Menurut analisis Awalil, stabilitas keuangan sejauh ini bisa dijaga dengan pola kebijakan seperti itu. Antara lain diindikasikan oleh inflasi yang rendah, serta harga SBN yang masih wajar atau yield yang terkendali. Harga SBN diketahui terkait erat dengan solvabilitas bank dan dana jaminan sosial seperti BPJS serta dana haji.  

“Bagaimanapun, kondisi yang demikian membuat ruang kebijakan moneter dan juga fiskal makin sempit. Pada saat ketidakpastian meningkat dan perekonomian cenderung melemah, mestinya otoritas ekonomi (Pemerintah dan Bank Indonesia) lebih bersikap ‘countercyclical’. Namun, daya untuk itu cenderung makin lemah,” ujarnya. 

Dengan analisisnya tersebut, Awalil pun menyimpulkan bahwa daya beli masyarakat kelas menengah yang melemah disinyalir diperparah oleh arah kebijakan BI tersebut. 

“Pada saat bersamaan, kondisi keuangan kelas menengah atas dan kelas atas dapat saja lebih diuntungkan. Mereka lah yang memiliki uang untuk dialokasikan pada berbagai instumen investasi keuangan yang memberi hasil makin tinggi,” kata Awalil. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement