REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Posisi utang pemerintah per akhir Februari 2025 diprakirakan mencapai Rp 9.000 triliun, mengalami kenaikan dari Rp 8.909,13 triliun pada Januari 2025. Lonjakan ini seiring dengan realisasi pembiayaan utang hingga Februari 2025 yang mencapai Rp 224,3 triliun atau 28,9 persen dari rencana APBN 2025 sebesar Rp 775,9 triliun.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti tren kenaikan utang ini dan menegaskan perlunya strategi pengelolaan yang lebih cermat. "Utang pemerintah terus meningkat, dan dengan kondisi defisit saat ini, diperlukan kebijakan yang memastikan beban utang tetap terkendali," ujarnya dalam keterangan yang diterima, Senin (17/3/2025).
Sebagian besar pembiayaan utang berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), yang hingga akhir Februari 2025 mencatat neto Rp 238,8 triliun atau 37,2 persen dari target APBN. Sementara itu, pinjaman neto justru mengalami nilai negatif Rp 14,4 triliun atau minus 10,8 persen dari target.
Awalil juga menekankan bahwa pelemahan rupiah dapat semakin memperbesar nilai utang pemerintah. "Jika nilai tukar rupiah terus melemah, posisi utang bisa lebih tinggi dari Rp 9.000 triliun, yang akan meningkatkan beban pembayaran bunga dan cicilan," jelasnya.
Dengan defisit APBN yang mencapai Rp 31,2 triliun hingga Februari 2025, Awalil mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengelola pembiayaan. "Utang tetap diperlukan untuk menutup defisit, tetapi harus diimbangi dengan penerimaan negara yang lebih optimal agar tidak semakin membebani anggaran di masa depan," ujarnya.