Senin 23 Oct 2023 17:34 WIB

IHSG Terpangkas 1,57 Persen Dibayangi Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS

Koreksi IHSG sejalan dengan pergerakan indeks global yang cenderung terkoreksi.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Karyawan beraktivitas di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Karyawan beraktivitas di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak lesu sepanjang perdagangan Senin (23/20/2023). Dibuka turun pada sesi pertama, IHSG konsisten bergerak di zona merah dan berakhir terkoreksi tajam sebesar 1,57 persen ke level 6.741,96 di penutupan sesi kedua.

Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana mengatakan, pergerakan IHSG mendapat pengaruh dari sentimen global. Salah satunya kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang nyaris menyentuh level lima persen.

Baca Juga

"Koreksi IHSG sejalan dengan pergerakan indeks global yang cenderung terkoreksi, sentimen yang memengaruhi antara lain yield US Treasury Note 10 Year berada di angka 4,9 persen," kata Herditya saat dihubungi Republika.

Selain itu, lanjut Herditya, pasar khawatir ketegangan geopolitik di Timur Tengah dapat memicu ketidakpastian global. Kondisi tersebut juga dikhawatirkan akan meningkatkan risiko inflasi sehingga mendorong bank sentral bersikap lebih hawkish.

Dari dalam negeri, Herditya melihat, pelemahan nilai tukar rupiah yang menyentuh level psikologis Rp 16.000 juga membebani indeks. Pelaku pasar cenderung beralih dari aset berisiko tinggi ke aset yang berisiko rendah atau safe haven.

Di sisi lain, menurut Herditya, pengaruh pencapresan terhadap IHSG tidak terlalu signifikan. Secara historis, IHSG biasanya cenderung bergerak positif menjelang tahun pemilu. 

"Menjelang tahun pemilu, pergerakan IHSG cenderung positif meskipun dari tingkat korelasinya tidak terlalu besar dibandingkan sentimen-sentimen yang beredar saat ini," kata Herditya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement