REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Cuaca kemarau ekstrem El-Nino tahun ini masih menghantui kemampuan produksi beras nasional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Badan Pangan Nasional pun meminta masyarakat agar tetap tenang serta tidak melakukan pembelian besar-besaran demi mencegah terjadinya kelangkaan beras.
Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan pangan, Badan Pangan Nasional, Andriko Noto Susanto, menjelaskan, sejauh ini pemerintah tetap berupaya keras untuk mengamankan ketersediaan beras di dalam negeri melalui Perum Bulog. Pemerintah juga telah membuka keran impor melalui Bulog agar ketersediaan beras tetap aman.
“Kita imbau belanja dengan bijak. Jangan panik lalu beli beras dalam jumlah lebih dari yang dibutuhkan, misal 5 kg jadi 10 kg. Percayalah, kalau setiap rumah tangga tingkatkan pembelian dua kali lipat itu akan menyebabkan kelangkaan dan itu tidak bagus,” kata Andriko di Bogor, Kamis (6/7/2023).
Andriko mengakui, jumlah cadangan beras di Perum Bulog yang hanya sekitar 627 ribu ton cukup riskan dengan tingkat kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton per bulan. Meski demikian, pemerintah telah meminta Bulog untuk optimal dalam melakukan penyerapan di dalam negeri serta impor beras secara terukur.
Ia menilai, importasi beras yang dilakukan Bulog cukup terukur karena tidak menyebabkan kejatuhan harga gabah di level petani. Hal itu dinilai baik karena di satu sisi pemerintah dapat mengamankan kebutuhan di tingkat konsumen namun tak mengganggu stabilitas harga di level petani.
“Kita memang butuh tambahan dari luar tapi terukur. Apa buktinya? Per hari ini harga gabah dan beras di petani itu tidak turun. Tetap naik, bagus. Petani tidak punya keluhan,” ujarnya.
Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) meminta pemerintah untuk menyiapkan mitigasi secara tepat demi meminimalisasi dampak yang dapat ditimbulkan.
Ketua Umum Peragi, Andi Muhammad Syakir, mengatakan, anomali iklim secara langsung akan berdampak pada performa produksi pertanian di Indonesia, tak terkecuali beras. Di saat bersamaan, surplus produksi beras terhadap konsumsi cukup kecil sehingga Indonesia tak memiliki ruang cadangan beras yang besar.
“El Nino yang berat dan sedang pasti berdampak ke produksi. Cuma sejauh mana dampaknya? Ini yang perlu kita lihat. Anomali iklim ini juga sudah sering terjadi di Indonesia. Musim kemarau (biasa) saja berpengaruh,” kata Syakir dalam kesempatan yang sama.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan puncak El Nino kemungkinan akan terjadi pada bulan Agustus mendatang dengan level lemah hingga sedang.
Meski demikian, intensitas anomali iklim kering di setiap daerah bakal memiliki level berbeda. Oleh karena itu, Syakir menegaskan, tanggung jawab terhadap mitigasi El Nino harus dipahami oleh pemerintah pusat hingga lokal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi gabah kering panen (GKP) dalam tiga tahun terakhir memang surplus dengan level fluktuatif. Pada 2020 lalu, produksi GKP mencapai 54,6 juta ton lalu 2021 turun menjadi 54,4 juta ton dan kembali naik menjadi 54,7 juta ton tahun 2022 lalu.
Meski demikian, kata Syakir, pencapaian surplus produksi dengan iklim yang relatif baik nyatanya belum memperlihatkan peningkatan signifikan. “Dengan mitigasi adaptasi yang tepat, pemerintah paling tidak harus mampu mempertahankan produksi nasional karena jumlah penduduk yang terus meningkat,” ujarnya.